Injil Yohanes mengisahkan adanya kontras ini: Yesus yang dielu-elukan sebagai Raja, namun kemudian Yesus yang harus mati seperti biji. Setelah Yesus masuk ke Yerusalem dan disambut dengan sorak-sorai oleh orang banyak yang menyerukan, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (Yoh 12:13), kemudian Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 12:24). Memang, kedatangan Kristus ke dunia ini adalah untuk menebus dosa dunia dengan kematian-Nya. Kontras dengan manusia yang datang ke dunia untuk hidup, Kristus datang ke dunia untuk mati. Oleh karena itu, di awal karya Kristus di hadapan umum, Yohanes Pembaptis mengatakan, “Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh 1:29).
Anak Domba Allah yang menjadi korban penebus dosa bagi kita manusia, telah dinubuatkan secara begitu jelas oleh nabi Yesaya sekitar 500-700 tahun sebelum kedatangan Kristus. Mari kita merenungkan kembali, nubuat tentang Sang Hamba yang menderita ini:
“Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah. Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya. Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya. Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul. Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.” (Yes 53:1-12)
Pewahyuan tentang Kebenaran-Nya membawa Yesus kepada penderitaan
Ke-empat Injil mengisahkan bahwa bagi para ahli taurat dan pemimpin agama Yahudi, Yesus dipandang telah melanggar keyakinan mendasar dari bangsa itu, seperti: (1) melawan ketaatan kepada hukum yang umum berlaku saat itu; (2) melawan tempat sentral kanisah Yerusalem; (3) dianggap orang melawan iman akan Allah yang Esa (lih. KGK, 576).
Yesus adalah Sang Pemberi Hukum yang akhirnya dihukum
Di dalam masyarakat Yahudi, ketaatan melaksanakan Hukum Taurat merupakan takaran apakah seseorang sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah. Yesus sendiri menegaskan bahwa Dia bukan datang untuk meniadakan Hukum Taurat, namun untuk menggenapinya (lih. Mat 5:17-19). Dalam perikop tentang anak muda yang kaya dan saleh (lih. Mat 19:16-22; Mrk 10:17-31; Lk 18:18-30) diceritakan bahwa anak muda tersebut bertanya kepada Yesus, bagaimana caranya untuk memperoleh kehidupan yang kekal. Jawaban Yesus adalah apakah anak muda tersebut melaksanakan Hukum Taurat atau tidak, yaitu: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayah ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (lih. Mat 19:18-19). Anak muda tersebut secara jujur menjawab bahwa dia telah menjalankan semuanya dan bertanya kepada Yesus, apa lagi yang harus dia lakukan? St. Markus mengatakan dalam Injilnya, bahwa Yesus memandang anak muda tersebut dengan penuh kasih. Yesus mengasihi anak muda itu yang menjalankan Hukum Taurat. Dalam kasih-Nya, Yesus mengundang anak muda tersebut untuk tidak hanya sampai pada menjalankan hukum, namun bertemu dengan Sang Pemberi Hukum, dan menjalin hubungan dengan Sang Pemberi Hukum itu, dengan menjual segala yang dimiliki untuk kemudian mengikuti Dia (lih. Mat 19:21).
Perikop di atas menunjukkan bahwa Yesus adalah sungguh Allah, karena Dia menempatkan diri-Nya sebagai Sang Pemberi Hukum. Kita juga dapat melihat, bahwa pada saat Yesus memulai pengajaran-Nya, terutama dalam khotbah di Bukit (Delapan Sabda Bahagia), Ia berbicara di dalam nama-Nya sendiri, untuk menyatakan otoritas yang dimiliki-Nya untuk mengajar (Mat 5:1-dst). Ini membuktikan bahwa Yesus lebih tinggi dari Musa dan para nabi[1], sebab Musa berbicara dalam nama Tuhan (lih. Kel 19:7) ketika ia menyampaikan hukum Sepuluh Perintah Allah; tetapi Yesus memberikan hukum dalam nama-Nya sendiri, “Aku berkata kepadamu….” Hal ini tertera sedikitnya 12 kali di dalam pengajaran Yesus di bukit, yang dicatat dalam Mat 5 dan 6, dan dengan demikian Ia menegaskan Diri-Nya sebagai Pemberi Hukum Ilahi (the Divine Legislator) itu sendiri, yaitu Allah. Demikian pula dengan perkataan-Nya, “Amin, amin…”, di awal kalimat ajaran-Nya, Yesus menegaskan segala yang akan diucapkan-Nya sebagai perintah; bukan seperti orang biasa yang mengatakan ‘amin’ di akhir doanya sebagai tanda ‘setuju’. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Yesus mengajar dengan penuh kuasa dan tidak mengajar seperti ahli-ahli taurat (lih. Mat 7:29; Mrk 1:22; Luk 4:32).
Karena Yesus adalah Sang Pemberi Hukum itu sendiri, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia, maka Dia dapat memberikan penjelasan secara definitif tentang hukum yang diberikan Allah. Sebagai contohnya, Yesus mengatakan, “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah,” (Mat 5:33-34); “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Mat 5:21-22). Dan kalau kita melihat ada sekitar 140 kali, penulis Injil merekam perkataan Yesus, “Aku berkata kepadamu”, dan sekitar 14 kali di antaranya, Yesus berkata, “Tetapi Aku berkata kepadamu” (lih. Mat 5:22,28,32,34,39,44; 11:22,24,36; 19:9; 26:29; Mrk 9:13; Luk 13:35; Yoh 4:35)- untuk memberikan penjelasan tentang makna yang sebenarnya dari hukum yang telah ada. Tepatlah apa yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya, bahwa Yesus adalah Sang Pemberi Hukum (lih. Yes 42:3), bahkan Dia sendiri menjadi Perjanjian bagi umat manusia (lih. Yes 42:6). Dan karena tidak ada manusia yang dapat menjalankan hukum dengan sempurna, maka Yesus sendiri merelakan diri-Nya untuk menjadi “kutuk hukum” untuk mengganti kita (lih. Gal 3:13).
Salah satu sebab penderitaan Kristus yang membawa-Nya pada kayu salib adalah pertentangan-Nya dengan ahli-ahli taurat. Yesus menyatakan bahwa para ahli taurat hanya berpegang pada adat istiadat manusia, yang meniadakan Firman Tuhan (lih. Mrk 7:8). Yesus bertentangan dengan para ahli taurat tentang makanan yang halal (lih. Mrk 7:18-21); dan juga tentang hari Sabat (lih. Mat 12:5; Luk 13:15-16; 14:3-4). Karena itu, dikatakan bahwa orang-orang Farisi dan Saduki bersekongkol untuk membunuh Yesus (lih. Mat 12:14).
Yesus, Sang Bait Allah yang dirubuh dan dibangun kembali dalam tiga hari
Yesus menyatakan bahwa Dia adalah bait Allah, sebagai tempat tinggal Allah yang definitif di antara manusia (lih. Yoh 2:21; KGK 586). Sebagai Kanisah yang hidup, sejak kecil, Yesus juga menghormati bait Allah ini, yang ditandai dengan sunat pada hari ke delapan (lih. Luk 2:21; bdk. Kej 17:12) dan kemudian Yesus dipersembahkan di bait Allah di hari ke-empatpuluh (lih. Luk 2:22; bdk. Im 12:1-5). Pada usia 12 tahun, Yesus tinggal di rumah Bapa (lih. Luk 2:46-49) dan sebelum karya umum-Nya, minimal setiap tahun, Dia pergi ke kanisah pada hari raya Paskah (lih. Luk 2:41). Pada waktu Dia melakukan karya umum, Yesus juga melakukannya seirama dengan ziarah-ziarah-Nya ke Yerusalem – terutama pada hari-hari raya Yahudi besar (lih. Yoh 2;13-14; 5:1,14; 7:1,10,14; 8:2; 10:22-23). Yesus juga menunjukkan cinta-Nya kepada Allah dengan menghormati kanisah sebagai rumah doa, rumah Bapa, sehingga tidak rela melihat kanisah menjadi tempat berjualan (lih. Mat 21:13; bdk Mzm 69:10; Jn 2:16-17).
Namun demikian, Yesus tidak menghendaki bahwa orang-orang hanya sampai pada pengenalan akan kanisah Yerusalem, yang terikat pada waktu dan tempat. Dia mengatakan kepada perempuan Samaria, “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.” (Yoh 4:21) Yesus tidak ingin bahwa kita manusia hanya menyembah Allah di kanisah Yerusalem, namun Dia menginginkan agar kita dapat mencapai Sang Kenisah, yaitu Yesus sendiri. Namun, untuk mencapai tujuan ini, Yesus mengatakan bahwa kanisah ini harus dirubuhkan dan akan dibangun kembali dalam tiga hari, yaitu dengan kematian-Nya dan kebangkitan-Nya (lih. Yoh 2:18).
Yesus, Putera Allah, yang membawa pertentangan
Dengan menempatkan Diri sebagai Pemberi Hukum, dan menempatkan diri lebih tinggi dari bait Allah (lih. Mat 12:6), maka sebenarnya Yesus telah menyampaikan kepada kaum Yahudi, bahwa Dia adalah Allah. Namun, pernyataan yang lebih eksplisit bahwa Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Allah, datang dalam bentuk yang tidak mungkin dapat disalah-artikan oleh kaum Yahudi, yaitu ketika Yesus mengampuni dosa dan menyatakan bahwa diri-Nya adalah Anak Allah.
Kaum Farisi tercengang-cengang ketika Yesus bergaul dan makan bersama dengan para pendosa (lih. Luk 5:30), dan memperlihatkan belas kasih-Nya kepada para pendosa. Ia, seperti sang bapa dalam perumpamaan anak yang hilang (lih. Luk 15:23-32), menyambut pendosa yang bertobat (lih. Luk 19:1-10). Kaum Farisi tidak dapat menerima tindakan Yesus itu, ketika Ia sendiri berkata, “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (lih. Mat 9:2-8; Luk5:24). Rasul Matius menulis bahwa beberapa ahli Taurat berkata dalam hatinya, “Ia [Yesus] menghujat Allah” (Mat 9:3), sebab mereka tahu, bahwa hanya Allah saja yang dapat mengampuni dosa. Puncak kemarahan mereka nampak, ketika mendengar Yesus sendiri berkata, “Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat 26:64; bdk Luk 22:70). Mendengar perkataan Yesus itu, Imam Besar mengoyakkan pakaiannya dan kemudian berkata bahwa Yesus telah menghujat Allah. Bagi orang Farisi, jelaslah sudah bahwa Yesus telah mengklaim Diri-Nya sebagai Allah. Katekismus Gereja Katolik menuliskannya sebagai berikut:
KGK 590 “Hanya jati diri ilahi pribadi Yesus dapat membenarkan tuntutan begitu absolut, seperti yang berikut ini: “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan” (Mat 12:30), atau ungkapan-ungkapan seperti: “Dan sesungguhnya yang ada di sini lebih dari nabi Yunus… lebih dari Salomo” (Mat 12:41-42), “di sini ada yang melebihi Bait Allah” (Mat 12:6). Atau apabila Ia menghubungkan dengan diri-Nya bahwa Daud menamakan Mesias Tuhannya (Bdk. Mat 12:36,37), atau mengatakan: “Sebelum Abraham jadi, Aku ada.” (Yoh 8:58), dan malahan: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30).”
Tidak ada seorang nabipun yang pernah menyatakan dirinya sebagaimana Kristus menyatakan diri-Nya.
Tentang Penyaliban Kristus?
Penyaliban Kristus: Bagaimana kita tahu bahwa itu fakta dan bukan fiksi?
Di dalam doa Aku Percaya kita menyatakan, “Aku percaya… akan Yesus… yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus”. Dengan ini kita menyatakan bahwa kita percaya bahwa penderitaan dan kematian Yesus bukanlah fiktif, namun sungguh terjadi di dalam sejarah manusia. Seorang sejarahwan di abad pertama, Flavius Josephus menuliskan demikian dalam bukunya Jewish Antiquities, 18.63-64:
“Pada saat ini, hiduplah Yesus, seorang yang bijaksana. Karena ia adalah seorang pelaku perbuatan yang luar biasa, seorang guru dari orang-orang yang menerima kebenaran dengan senang hati. Dan ia mendapatkan pengikut baik di kalangan banyak orang Yahudi dan di antara banyak orang yang berasal dari Yunani. Dan ketika Pilatus, karena tuduhan yang dibuat oleh orang-orang terkemuka di antara kita, mengutuk dia untuk disalibkan, mereka yang telah mencintainya sebelumnya tidak berhenti mencintainya. Karena ia menampakkan diri kepada mereka pada hari ketiga, hidup lagi, sama seperti yang telah dibicarakan oleh para nabi Allah dan banyak hal-hal lain yang menakjubkan yang tak terhitung banyaknya telah dibicarakan tentang dirinya. Dan sampai hari ini suku Kristen, yang dinamai seturut namanya, tidak mati.”
Kesaksian Josephus (37-100) menjadi penting, justru karena ia sendiri adalah seorang Yahudi, sehingga kesaksiannya dapat dikatakan sebagai kesaksian yang netral, yang tidak dibuat untuk membela umat Kristen. Tulisan Josephus ini dapat menjadi referensi yang baik, mengingat ia menuliskannya pada zaman yang tak jauh dari kejadian yang sesungguhnya di abad pertama, di mana ia masih dapat memperoleh sumber yang akurat, berdasarkan kesaksian para saksi mata yang masih hidup di saat ia menuliskannya. Demikian pula, catatan sejarah dapat dibaca dalam tulisan seorang sejarahwan di abad ke-3, Eusebius (263-339), di dalam karyanya yang berjudul Church History, Book 1, secara khusus, chapter 11.
Selain tulisan dari para ahli sejarah, Kitab Suci juga secara jelas memberikan bukti tentang Kristus yang menderita dan wafat. Dalam kesempatan yang berbeda-beda, Kristus telah memberitahukan kepada para murid-Nya tentang jalan penderitaan dan kematian yang harus dilalui-Nya (lih. Mat 17: 22; Mat 20:19; Mat 26:2; Mrk 9:30; Mrk 10:33-34; Luk 18:32). Injil juga secara jelas menceritakan tentang penderitaan dan wafat Kristus (lih. Mat 26-27; Mrk 14:15; Luk 22-23; Yoh 18-19). Kita juga melihat bahwa iman yang diwartakan oleh para rasul justru bersumber pada Kristus yang wafat dan bangkit, seperti yang diwartakan oleh Rasul Paulus: “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2). “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci…” (1Kor 15:3). “Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.” (1Kor 15:20). Demikian pula, Rasul Petrus mengatakan, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan…” (1Ptr 1:3); “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh…” (1 Ptr 3:18).
Jika diamati dari sisi yang berbeda, sesungguhnya secara manusiawi, kematian Kristus tidaklah perlu dibanggakan, bahkan dapat dianggap menjadi batu sandungan. Rasul Paulus mengatakan bahwa pemberitaan Kristus yang tersalib untuk orang-orang Yahudi adalah suatu batu sandungan, dan untuk orang-orang bukan Yahudi adalah suatu kebodohan (1Kor 1:23). Dengan demikian, kalau memang Kristus tidak wafat, maka tidak ada yang perlu ditutup-tutupi tentang hal tersebut. Namun, para rasul dan jemaat perdana tetap memberitakan Kristus yang tersalib dan bangkit, walaupun mereka harus dianiaya karena itu. Mengapa? Karena Kristus yang menderita dan wafat adalah merupakan suatu kebenaran, sehingga tidak perlu ditutup-tutupi, sebab hal itu sungguh terjadi.
Siapa yang menyalibkan Kristus?
Pada waktu orang-orang Yahudi memaksa Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus, mereka berteriak, “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami.”(Mat 27:25) Pernyataan ini tidak untuk disimpulkan bahwa seluruh umat Yahudi bertanggungjawab atas penyaliban Kristus, karena mungkin saja mereka bertindak karena ketidaktahuan – seperti yang dikatakan oleh Rasul Petrus (lih. Kis 3:17 -), sehingga tidak mungkin penghukuman ini diterapkan untuk keturunan-keturunan mereka. Orang-orang yang terlibat dalam drama penyaliban Kristus pada waktu itu – yaitu: kaum Farisi dan Saduki, Pontius Pilatus, Imam Agung, Herodes, para prajurit, semua orang yang menghina Yesus – memang harus mempertanggungjawabkan semua hal yang mereka lakukan di hadapan Allah. Namun, kita tidak dapat menyalahkan keturunan-keturunan mereka. Dokumen Konsili Vatikan yang dikutip dalam KGK 597 menuliskan demikian:
“Apa yang telah dijalankan selama Ia menderita sengsara tidak begitu saja dapat dibebankan sebagai kesalahan kepada semua orang Yahudi yang hidup ketika itu atau kepada orang Yahudi zaman sekarang… Orang-orang Yahudi jangan digambarkan seolab-olah dibuang oleh Allah atau terkutuk, seakan-akan itu dapat disimpulkan dari Kitab Suci” (NA 4).
Di sisi yang lain, kita tahu bahwa Kristus datang ke dunia untuk menebus dosa kita manusia (Gal 3:13; 4:4). Karena dosa-dosa kitalah, maka Kristus datang ke dunia, menderita sengsara, dan wafat di kayu salib. Katekismus Gereja Katolik menerangkannya sebagai berikut:
Dalam Magisterium imannya dan dalam kesaksian para kudusnya Gereja tidak pernah melupakan bahwa semua pendosa pun adalah “penyebab dan pelaksana semua siksa yang Kristus derita” (Cat. R. 1,5,11; Bdk. Ibr 12:3). Karena Gereja sadar bahwa dosa-dosa kita menimpa Kristus sendiri (Bdk. Mat 25:45; Kis 9:4-5), ia tidak ragu-ragu mempersalahkan warga Kristen atas penderitaan Kristus – sementara mereka ini terlalu sering melimpahkan tanggung jawab hanya kepada orang Yahudi:
“Tanggung jawab ini terutama mengenai mereka, yang berkali-kali jatuh ke dalam dosa. Oleh karena dosa-dosa kita menghantar Kristus Tuhan kita kepada kematian di kayu salib, maka sesungguhnya, mereka yang bergelinding dalam dosa dan kebiasaan buruk, ‘menyalibkan lagi Anak Allah dan menghina-Nya di muka umum’ (Ibr 6:6) – satu kejahatan, yang nyatanya lebih berat lagi daripada kejahatan orang-orang Yahudi. Karena mereka ini, seperti yang dikatakan sang Rasul, ‘tidak menyalibkan Tuhan yang mulia, kalau sekiranya mereka mengenal-Nya’ (1 Kor 2:8). Tetapi kita mengatakan, kita mengenal Dia, walaupun demikian kita seolah-olah menganiaya-Nya waktu kita menyangkal-Nya dengan perbuatan kita” (Catech. R. 1,5,11).“Setan bukanlah mereka yang menyalibkan-Nya, melainkan engkau, yang bersama mereka menyalibkan-Nya dan masih tetap menyalibkan-Nya, dengan berpuas diri dalam perbuatan jahat dan dalam dosa” (Fransiskus dari Assisi, Admon. 5,3).Kalau kita melihat dari sudut pandang rencana Allah, maka sebenarnya kita juga dapat menyimpulkan bahwa penderitaan Kristus dan kematian-Nya adalah cara yang dipilih Allah untuk menyelamatkan manusia (Kis 2:23). Walaupun semua ini adalah rencana Allah -karena Allah telah mengetahui segala sesuatunya sejak awal mula- namun tidak berarti bahwa orang-orang yang bersalah karena menyalibkan Kristus, dapat dipandang hanya sebagai robot yang menjalankan fungsinya dalam karya keselamatan Allah. Karena terwujudnya penyaliban Yesus itu juga melibatkan kehendak bebas orang-orang yang menyalibkan Dia.
Apakah jalan salib adalah satu keharusan?
Pernahkah kita berpikir mengapa Yesus memilih penderitaan yang begitu berat sampai akhirnya mati di kayu salib untuk menyelamatkan manusia? Apakah tidak ada cara lain yang lebih mudah? St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology, Part III, q. 46. a 1, menjelaskan jawaban untuk pertanyaan: “Apakah menjadi keharusan bagi Kristus untuk menderita [di salib] untuk menebus umat manusia?” St. Thomas membahas satu-persatu keberatan tentang apakah Kristus harus menderita, berikut ini:
- Kelihatannya tidak perlu bagi Kristus untuk menderita demi menyelamatkan umat manusia. Sebab umat manusia tidak dapat dibebaskan kecuali oleh Allah…. dan tak ada satupun yang dapat mengharuskan Tuhan, sebab ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan kemahakuasaan Tuhan. Maka kelihatannya tidak perlu Yesus menderita.
- Apa yang merupakan keharusan adalah bertentangan dengan apa yang dilakukan tanpa paksaan. Kristus menderita karena kehendak-Nya sendiri, sebab tertulis, “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yes 53:7). Yesus mempersembahkan diri-Nya atas kehendak sendiri. Maka kelihatannya tidak menjadi keharusan bagi Yesus untuk menderita di salib.
- Selanjutnya, tertulis, “Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran” (Mzm 25:10). Tapi kelihatannya tidak perlu bahwa Ia harus menderita, sebab di pihak-Nya sebagai Kerahiman Ilahi, Ia akan memberikan karunia-karunia tanpa syarat, maka kelihatannya dapat diterima bahwa tidak perlu diadakan semacam “pembayaran hutang dosa”; dan juga, di pihak Keadilan Ilahi, di mana manusia memang layak menerima hukuman yang kekal. Maka kelihatannya tidak perlu Kristus menderita untuk membebaskan manusia dari dosa.
- Selanjutnya, kodrat malaikat yang lebih sempurna dari manusia… tetapi Kristus tidak menderita untuk memperbaiki kodrat malaikat yang berdosa. Maka, kelihatannya, demikian juga tidak perlu Kristus menderita di salib bagi manusia.
Sebaliknya, tertulis: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:14-15)
Saya menjawab bahwa ….. terdapat beberapa arti terhadap kata “keharusan”. Di satu sisi itu berarti di mana kodratnya yang menentukan demikian; dan dalam hal ini maka nyata bahwa memang bukan keharusan, baik dari pihak Allah maupun dari pihak manusia bahwa Kristus harus menderita. Namun di sisi yang lain, sesuatu dapat menjadi keharusan dari sesuatu sebab yang di luar dari dirinya; dan jika ini terjadi, ini adalah sebab yang efisien atau yang menggerakkan, sehingga dapat membawa semacam keharusan ….. Maka walaupun tidak menjadi keharusan bagi Kristus untuk menderita, jika dipandang dari keharusan yang memaksa, karena dari pihak Allah tidak ada yang memaksa-Nya, dan dari pihak Kristus, karena Dia menyerahkan diri-Nya dengan rela. Namun, dapat dikatakan bahwa penderitaan Kristus adalah suatu keharusan, jika dilihat dari akhir/ tujuan maksudnya. Dan ini dilihat dalam tiga hal:
- Dari sudut pandang kita yang dibebaskan oleh Sengsara-Nya, sesuai dengan Yoh 3:14-15: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”
- Dari sisi Kristus, yang menerima kemuliaan-Nya melalui kerendahan Sengsara-Nya, dalam Luk 24:26: “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”
- Dari sisi Tuhan Allah Bapa, yang telah menentukan terlaksananya nubuat dalam Perjanjian Lama, seperti tertulis dalam Luk 22:22, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan…”Ia berkata kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, …., yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur. Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga.” (Luk 24:44-46).
Jawaban terhadap keberatan 1: Ini adalah argumen berdasarkan keharusan dari pihak Allah, dan seperti telah disebutkan di atas, tidak ada keharusan dalam hal ini.
Jawaban terhadap keberatan 2: Ini adalah argumen berdasarkan keharusan dari pihak Kristus sebagai manusia, dan seperti telah disebutkan di atas, tidak ada keharusan dalam hal ini.
Jawaban terhadap keberatan 3: Bahwa manusia harus dibebaskan oleh Sengsara Kristus adalah sesuai dengan kasih setia Tuhan dan keadilan-Nya. Dengan keadilan-Nya, sebab dengan Sengsara-Nya, Kristus menebus (membayar lunas) dosa-dosa umat manusia dan manusia dibebaskan oleh keadilan Tuhan; dan dengan belas kasih-Nya, sebab karena manusia sendiri tidak dapat menebus dosa dari semua kodrat manusia, menurut Rom 3:24-25, “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya.” Dan belas kasih Tuhan akan semakin berlimpah daripada pengampunan dosa tanpa penebusan melalui kayu Salib. Oleh karena itu dikatakan, “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita…” (Ef 2:4-5)
Jawaban untuk Keberatan 4: Dosa dari para malaikat adalah sesuatu yang tak dapat diobati, namun tidak demikian dengan dosa manusia pertama (lihat Summa Theology, I, q. 64, a. 2)
Dengan melihat uraian di atas, maka memang sebenarnya bukan menjadi suatu keharusan mutlak bagi Kristus untuk menderita di salib bagi kita, namun memang itulah yang dipilih-Nya, dan ini sudah direncanakan-Nya sejak awal mula dunia. Sebab Allah sudah mengetahui segala sesuatunya, bahwa manusia pertama akan jatuh dalam dosa. Dosa asal inilah yang akan diturunkan kepada semua umat manusia, dan karena manusia tak dapat menebus dosanya sendiri, maka Allah memutuskan untuk mengutus Putera-Nya sendiri untuk menebus dosa manusia dengan sengsara-Nya di kayu salib. Penderitaan yang tak terlukiskan di kayu salib tersebut adalah bukti kasih Allah yang tiada terbatas, dan juga bukti keadilan yang sempurna, yang menunjukkan kejamnya akibat dosa, yang harus dipikul oleh Kristus, untuk membebaskan kita manusia dari belenggu dosa. Maka walaupun setetes darah-Nya sebenarnya cukup untuk menebus seluruh dosa manusia, namun Yesus justru mau menyatakan yang lebih sempurna dan berlimpah ruah/“superabundant” daripada itu. Sebab Kristus hendak menunjukkan kasih yang melebihi dari apa yang disyaratkan, kasih yang mengatasi segalanya. Kerendahan hati Yesus yang ditunjukkan-Nya dengan kerelaan-Nya menjadi manusia dan menderita di kayu salib merupakan “obat penawar”/ antidote bagi dosa asal Adam, yaitu kesombongan ingin menjadi/ menyamai Allah. Ketaatan Kristus terhadap kehendak Allah Bapa menjadi obat penawar bagi ketidaktaatan Adam kepada Allah (lih. Rom 5:19). Dengan menghayati hal ini, kita semakin menghargai pengorbanan Kristus di kayu Salib, dan berusaha sedapat mungkin menjauhkan diri dari dosa yang memisahkan kita dari Allah.
Misteri Paskah Kristus
Perjamuan Terakhir sebagai antisipasi Misteri Paskah
Di awal karya umum Kristus, Rasul Yohanes berkata tentang Dia, “Lihatlah Anak Domba Allah” (Yoh 1:29, 36), yang menggambarkan bahwa Kristus akan menjadi korban bagi penebusan dosa. Selanjutnya, di dalam Injil Yohanes, kurban Anak Domba Allah ini digambarkan dengan lebih jelas ketika Kristus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:53-56) Di sini, Yesus memberikan penjelasan bahwa Tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan darah-Nya adalah benar-benar minuman. Untuk mendapatkan kehidupan kekal, kita harus menyantap tubuh-Nya dan minum darah-Nya. Bagaimana caranya? Kristus menunjukkan cara untuk menyantap Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya yang mendatangkan keselamatan kekal, yaitu dengan apa yang dilakukan-Nya dalam Perjamuan Terakhir. Di hadapan para rasul, Yesus berkata, “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu” (Luk 22:19) dan “Inilah Darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat 26:28).
Bagaimana mungkin Kristus memberikan Tubuh-Nya dan Darah-Nya padahal Ia masih bersama-sama dengan mereka? Karena Perjamuan Terakhir yang dilakukan oleh Kristus bersama-sama para rasul adalah merupakan antisipasi dari Misteri Paskah Kristus – kesengsaraan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Sorga – yang kemudian dialami secara nyata sejak dari penderitaan Kristus di Taman Getsemani. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus juga menginginkan agar Dia diingat dan dikenang kembali dalam perayaan tersebut, yang kini dilakukan dengan setia oleh Gereja Katolik dalam setiap Perayaan Ekaristi.
Getsemani: Penderitaan terberat Kristus
Ada banyak teolog yang menyatakan bahwa penderitaan Yesus yang terberat bukanlah penderitaan-Nya di kayu salib, namun apa yang terjadi di taman Getsemani. Sebab dalam permenungan-Nya di taman Getsemani, Kristus melihat dosa-dosa seluruh umat manusia, sejak zaman Adam dan Hawa sampai manusia terakhir sebelum akhir zaman. Artinya, saat itu Kristus juga melihat semua dosa kita. Inilah yang menyebabkan Yesus meneteskan keringat darah.
St. Thomas Aquinas menyatakan bahwa ada tiga pengetahuan di dalam diri Kristus dalam kodrat-Nya sebagai manusia, yaitu: 1) pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman/ pembelajaran (acquired knowledge), 2) pengetahuan yang ditanamkan dari Allah (infused knowledge); dan 3) pandangan kesempurnaan surgawi (beatific vision). Acquired knowledge ini adalah sama seperti pengetahuan yang kita dapatkan dari pembelajaran kehidupan sehari-hari, maupun tentang pengetahuan-pengetahuan yang lain. Hal ini dinyatakan di dalam Alkitab, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.“(Luk 2:52). Infused knowledge adalah pengetahuan seperti yang diperoleh oleh nabi-nabi maupun para malaikat. Allah sendiri memberikan inspirasi dan dengan akal budi mereka, para nabi mengekspresikannya dengan ungkapan dan kata-kata mereka sendiri. Bagaimana dengan beatific vision? Pengetahuan inilah yang dipunyai oleh Kristus sejak Dia dikandung dan sampai selama-lamanya. Pengetahuan ini memungkinkan Kristus senantisa berada dalam persatuan dengan Allah Bapa walaupun Dia mengambil kodrat manusia. Pada saat yang bersamaan, pengetahuan ini memungkinkan Kristus dapat memilih untuk membawa seluruh umat manusia dalam doa-Nya di taman Getsemani.
Bayangkan ketika orang tua merenungkan dosa-dosa yang diperbuat oleh anaknya. Hati mereka dapat menjerit dan merasakan kepedihan yang mendalam. Inilah yang dialami oleh Musa, ketika dia mengetahui bahwa bangsa Israel akan mengalami kehancuran karena telah menyembah berhala. Dia berkata “… Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu–dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.” (Kel 32:32)
Sekarang coba bayangkan, apa yang dialami oleh Yesus, ketika Dia melihat secara jelas seluruh dosa-dosa manusia, dari manusia pertama sampai manusia yang terakhir. Dan gambaran seluruh dosa-dosa manusia lebih jelas dibandingkan dengan kejelasan Musa melihat dosa-dosa umat Israel. Dengan beatific vision-Nya, Kristus melihat kesombongan manusia, orang-orang yang meninggalkan Gereja-Nya, orang-orang yang memecahkan diri dari Tubuh Mistik Kristus, orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka dan lupa akan Tuhan yang telah memberikan rezeki kepada mereka. Dia juga melihat dosa-dosa yang kita lakukan, yaitu saat kita lebih memilih kesenangan kita dibandingkan dengan mengikuti perintah Allah, atau saat kita egois, atau saat kita marah dan mengeluh ketika ada pencobaan datang.
Namun, pada saat yang bersamaan, selain dosa-dosa kita, Kristus juga melihat perbuatan kasih yang kita lakukan. Ini berarti pada saat kita melakukan perbuatan kasih, maka kita juga menghibur Kristus pada saat Dia berdoa di taman Getsemani. Pada waktu Kristus berdoa inilah, segala yang terjadi di masa lalu maupun masa depan, dihadirkan oleh Kristus. Dengan demikian, jika kita berdoa dan melakukan perbuatan kasih di masa kini, kita menemani dan menghibur Kristus pada saat Dia mengalami penderitaan di Taman Getsemani. Kita mengikuti apa yang diperintahkan oleh Kristus sendiri, ketika Dia mengatakan, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” (Mat 26:38). Jangan biarkan kita lengah sehingga Kristus menegur kita dengan mengatakan, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Mat 26:40).
Penyaliban: Puncak kasih Kritus
Memang, Kristus sebenarnya dapat membebaskan manusia dengan jalan yang lebih mudah dan tidak memerlukan jalan kesengsaraan. Namun, penderitaan salib dan kematian-Nya adalah cara yang dipilih oleh Allah untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa (1Kor 5:7; Jn 8:34-36). Wafat Kristus dan pemberian Diri sebagai kurban sebagai tanda Perjanjian Baru, yang diantisipasi dalam Perjamuan Terakhir, terealisasi secara nyata dalam kematian Kristus di kayu salib, sehingga akhirnya, sebelum wafat-Nya, Kristus mengatakan, “sudah selesai” (Yoh 19:30).
Dalam misteri salib Kristus inilah, maka kita dapat yakin bahwa dosa-dosa kita telah diampuni, karena darah Kristus telah menyucikan kita dari segala dosa (lih. 1Yoh 1:7). Kita juga mengingat ketika sebelum menghembuskan nafas-Nya yang terakhir, Kristus berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat“ (Luk 23:34). Dengan kurban persembahan diri-Nya yang tertumpah di kayu salib, Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia, menjadi Pengantara satu-satunya antara Allah Bapa dan manusia.
Melalui salib-Nya, belenggu iblis juga dikalahkan, seperti yang dikatakan-Nya, “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar; dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Jn 12:31-32) Bagaimana Kristus dapat menarik semua orang datang kepada-Nya? Dia katakan “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:14-15).
Akhirnya, penyaliban Kristus memungkinkan kita untuk tidak jatuh dalam hukuman kekal, namun memungkinkan kita untuk masuk dalam Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga yang tadinya tidak dapat dijangkau oleh manusia akibat dosa asal dan dosa pribadi, kini terbuka bagi manusia. Manusia yang tadinya menjauh dari Allah dan tidak mempunyai kekuatan dan daya untuk menggapai Allah, kini dapat menjadi anak-anak Allah, yang dapat berseru kepada Bapa, Abba! (lih. Rm 8:15; Gal 4:6). Ya, di dalam Anak Allah – Yesus – maka kita dapat menjadi anak-anak Allah.
Kebangkitan-Nya menghancurkan kematian
Saat kita mengatakan di dalam doa Aku Percaya, “Kristus, yang menderita sengsara, dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan dimakamkan,” kita menyatakan iman kita bahwa penderitaan, penyaliban dan wafat Kristus adalah sungguh terjadi di dalam sejarah manusia, yaitu dalam masa pemerintahan Pontius Pilatus. Penderitaan dan kematian Kristus bukanlah hanya dipercayai secara iman, namun juga dipercayai sebagai satu kejadian yang sesungguhnya. Iman inilah yang terus diwartakan oleh para rasul dan jemaat perdana, serta diteruskan oleh Gereja. Dan itulah yang kita percaya.
Dengan penderitaan dan kematian-Nya, Kristus menghancurkan kematian. Dalam setiap Perayaan Ekaristi kita menyatakan iman kita “dengan wafat, Engkau menghancurkan kematian; dengan bangkit, engkau memulihkan kehidupan; datanglah dalam kemuliaan”. Hanya dengan bersatu dengan kematian Kristus, kita dapat turut dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus.
No comments:
Post a Comment