Desiderius Erasmus Roterodamus (28 Oktober 1466 – 12 Juli 1536), dikenal sebagai Erasmus atau Erasmus dari Rotterdam, adalah seorang teolog, pengajar, kritikus sosial, imam Katolik, dan humanis Renaisans berkebangsaan Belanda.
Erasmus adalah seorang akademisi klasika dan menulis dengan gaya Latin murni. Di kalangan humanis, ia dijuluki "Pangeran Para Humanis", dan disebut "mahkota kemuliaan para humanis Kristen". Dengan menggunakan teknik-teknik humanis untuk mengerjakan teks-teks, ia menyusun edisi-edisi baru dari Perjanjian Baru berbahasa Yunani dan Latin yang dipandang penting, menimbulkan isu-isu yang kelak berpengaruh dalam Reformasi Protestan dan Kontra-Reformasi (Katolik). Ia juga menulis Tentang Kehendak Bebas, Pujian akan Kebodohan, Buku Pegangan Seorang Kesatria Kristen, Tentang Kesopanan pada Anak-Anak, Copia: Dasar-Dasar dari Gaya yang Melimpah, Julius Exclusus, dan banyak karya lainnya.
Erasmus menentang reformasi keagamaan Eropa yang sedang berkembang pada zamannya, tetapi ia bersikap kritis terhadap pelanggaran-pelanggaran di dalam Gereja Katolik dan menyerukan reformasi. Ia menjaga jarak dari Martin Luther dan Philip Melanchthon serta tetap mengakui otoritas sri paus, menekankan suatu jalan tengah dengan rasa hormat mendalam pada rahmat, kesalehan, dan iman sesuai tradisi, menolak penekanan Luther pada iman saja. Erasmus tetap menjadi anggota Gereja Katolik Roma sepanjang hidupnya, tetap berkomitmen melakukan reformasi dari dalam atas Gereja dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para klerikusnya. Ia juga tetap memegang doktrin Katolik mengenai kehendak bebas, yang ditolak oleh beberapa orang reformis karena doktrin predestinasi yang mereka anut. Pendekatan jalan tengahnya ("Via Media") mengecewakan, dan bahkan membuat marah, kalangan akademisi di kedua belah pihak.
Erasmus wafat secara mendadak di Basel pada tahun 1536 ketika sedang bersiap untuk kembali ke Brabant, dan dimakamkan di Basel Minster, katedral terdahulu kota tersebut. Sebuah patung dirinya yang terbuat dari perunggu didirikan di kota kelahirannya pada tahun 1622, menggantikan karya sebelumnya yang terbuat dari batu.
Desiderius Erasmus dilaporkan lahir di Rotterdam pada tanggal 28 Oktober, di akhir tahun 1460-an. Ia dinamai seturut nama Santo Erasmus dari Formia, seorang tokoh yang disukai oleh Gerard, ayah Erasmus. Suatu legenda dari abad ke-17 menyebutkan bahwa Erasmus awalnya dinamakan Geert Geerts (juga Gerhard Gerhards atau Gerrit Gerritsz), namun hal itu tidak berdasar. Ia lahir di Rotterdam, namun, ada anggapan bahwa tidak terdapat cukup catatan untuk memastikannya. Sebuah lukisan kayu yang terkenal mengindikasikan: Goudæ conceptus, Roterodami natus (bahasa Latin yang artinya: dikandung di Gouda, lahir di Rotterdam). Menurut sebuah artikel yang ditulis oleh sejarawan Renier Snooy (1478–1537), Erasmus lahir di Gouda.
Terdapat kontroversi kapan tepatnya tahun ia lahir, tetapi kebanyakan kalangan sepakat bahwa ia lahir pada tahun 1466. Bukti yang mengonfirmasikan tahun 1466 sebagai tahun kelahiran Erasmus dapat ditemukan dalam kata-katanya sendiri: lima belas dari dua puluh tiga pernyataan yang ia buat terkait usianya mengindikasikan tahun 1466. Ia dibaptis dengan nama "Erasmus", dari nama seorang santo dengan nama tersebut, St. Erasmus dari Formia. Meski terkait erat dengan Rotterdam, ia tinggal di sana hanya selama empat tahun, dan tidak pernah kembali ke sana. Informasi seputar keluarga dan kehidupan awal Erasmus utamanya berasal dari referensi-referensi yang samar-samar dalam tulisan-tulisannya. Orang tuanya dikatakan tidak menikah secara hukum. Gerard ayahnya adalah seorang imam rekan di Gouda. Hanya sedikit informasi yang diketahui mengenai ibunya, kendati namanya yang diketahui adalah Margaretha Rogerius (bentuk Latin dari nama keluarga Belanda 'Rutgers'), putri seorang dokter dari Zevenbergen. Sang ibu kemungkinan pernah bekerja sebagai pengurus rumah Gerard. Kendati ia lahir di luar ikatan perkawinan yang sah secara hukum, Erasmus dirawat oleh kedua orang tuanya hingga kemangkatan dini mereka akibat wabah pada tahun 1483. Hal ini memperkuat pandangannya tentang asal-usulnya sebagai suatu noda, dan menjadi seberkas penghalang pada masa mudanya.
Erasmus mendapat pendidikan tertinggi yang dapat ditempuh oleh seorang pemuda pada zamannya, dalam serangkaian sekolah monastik (kebiaraan) atau semi-monastik. Pada usia sembilan tahun, ia dan Peter kakaknya disekolahkan di salah satu sekolah Latin terbaik di Belanda, yang berada di Deventer dan milik klerus kapitel Lebuïnuskerk (Gereja St. Lebuin), kendati beberapa biografi sebelumnya menyatakan bahwa itu adalah sekolah yang dikelola oleh komunitas religius Persaudaraan Kehidupan Bersama. Selama ia bersekolah di sana, kurikulumnya mengalami pembaruan oleh Alexander Hegius, kepala sekolahnya. Untuk pertama kalinya bahasa Yunani diajarkan di tingkat pendidikan yang lebih rendah dari universitas di Eropa, dan momen ini merupakan awal mula ia mempelajari bahasa tersebut. Di sana ia juga mulai memahami arti penting relasi pribadi dengan Allah, melalui buku Mengikuti Jejak Kristus, namun menolak berbagai peraturan keras dan metode ketat yang diterapkan oleh para pendidik dan bruder religius. Pendidikannya di sana berakhir ketika wabah melanda kota itu sekitar tahun 1483, dan ibunya, yang telah pindah untuk menyediakan sebuah rumah bagi para putranya, meninggal dunia akibat wabah tersebut.
Penahbisan dan pengalaman monastik
Kemungkinan besar pada tahun 1487, kemiskinan memaksa Erasmus untuk memasuki hidup bakti sebagai seorang kanonik regular St. Agustinus, sebagai kanonik Stein, di Holland Selatan. Ia mengikrarkan kaul-kaul di sana pada akhir tahun 1488, dan ditahbiskan sebagai imam Katolik ketika usianya sekitar 25 tahun, pada tahun 1492. Dikatakan bahwa ia tampaknya tidak pernah aktif berkarya sebagai seorang imam untuk suatu kurun waktu yang lebih lama, dan beberapa pelanggaran dalam ordo-ordo keagamaan termasuk di antara objek-objek utama seruannya kelak untuk mereformasi Gereja dari dalam.
Ketika di Stein, Erasmus menulis serangkaian surat kepada rekannya sesama rahib, Servatius Rogerus, yang di dalamnya Erasmus memanggilnya "separuh jiwaku". Ia menulis, "Saya telah mengejarmu dengan sedih hati dan tanpa henti". Mengenai surat-surat itu, sementara Diarmaid MacCulloch mengatakan kalau Erasmus "jatuh cinta" dengan dia, Harry Vredeveld mengatakan bahwa surat-surat itu "tentunya ungkapan persahabatan sejati", dengan mengutip perkataan Erasmus kepada Grunnius: "Bukanlah hal yang tidak biasa pada usia untuk terpengaruh afeksi yang penuh gairah kepada beberapa sahabat pendamping Anda". Pada tahun 1497, Erasmus memberikan pengajaran privat di Paris kepada Northoff bersaudara dan dua pemuda Inggris, termasuk Thomas Grey. Tidak lama kemudian, Erasmus diberhentikan oleh walinya Grey karena ia memperlihatkan "suatu afeksi yang cukup kuat" kepada Grey, yang menyebabkan sang wali mencurigainya. Erasmus mengeluhkannya dengan alasan bahwa hubungan antara dia dan Gray tidak didasarkan pada "gelora muda apapun, tetapi suatu cinta terhormat berkenaan dengan surat-surat". Tidak ada kecaman pribadi terhadap Erasmus selama masa hidupnya, dan ia kemudian bersusah payah untuk menjauhkan peristiwa-peristiwa tersebut dengan mengutuk sodomi dalam karya-karya tulisnya, dan memuji hasrat seksual dalam pernikahan antara pria dan wanita.
Tidak lama setelah tahbisan imamatnya, ia mendapat kesempatan untuk meninggalkan tugasnya di biara ketika ia ditawari jabatan sekretaris Uskup Cambrai, Henry dari Bergen, karena kecakapannya yang luar biasa dalam bahasa Latin dan reputasinya sebagai seorang cendekiawan. Untuk memungkinkan dia menerima jabatan tersebut, Erasmus diberi dispensasi sementara dari kaul-kaul religiusnya atas dasar kesehatan yang buruk dan kecintaannya akan studi Humanistik, kendati ia tetap seorang imam. Paus Leo X kemudian menjadikan dispensasinya permanen, suatu privilese yang cukup besar pada zaman itu.
Pendidikan dan pencapaian akademik.
Pada tahun 1495, dengan persetujuan dan biaya dari Uskup Henry, ia melanjutkan studi di Universitas Paris, di Collège de Montaigu, sebuah pusat semangat reformasi, di bawah arahan seorang asketis bernama Jan Standonck, yang kekakuannya dikeluhkan oleh Erasmus. Universitas tersebut pada saat itu merupakan kedudukan utama dari pembelajaran Skolastik, namun telah berada di bawah pengaruh humanisme Renaisans. Hal itu terlihat dari hubungan akrab antara Erasmus dengan seorang humanis Italia bernama Publio Fausto Andrelini, penyair dan "profesor humanitas" di Paris.
Pusat-pusat utama aktivitas Erasmus adalah Paris, Leuven (di Kadipaten Brabant, sekarang berada dalam wilayah Belgia), Inggris, dan Basel; namun ia tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari satupun tempat tersebut. Pada tahun 1499, ia diundang kembali ke Inggris oleh William Blount, Baron ke-4 Mountjoy, yang menawarkan dia untuk menemani dalam perjalanannya kembali ke Inggris. Erasmus, "senantiasa rentan terhadap pesona pemuda-pemuda yang menarik, berpengaruh, dan kaya". Masa hidupnya di Inggris menghasilkan persahabatan seumur hidup dengan para pemimpin dari pemikiran Inggris pada zaman Raja Henry VIII: John Colet, Thomas More, John Fisher, Thomas Linacre, dan William Grocyn. Di Universitas Cambridge, ia menyandang jabatan Lady Margaret's Professor of Divinity dan memiliki pilihan untuk menghabiskan sisa hidupnya di dunia ini sebagai seorang profesor Inggris. Ia tinggal di Queens' College, Cambridge dari tahun 1510 sampai 1515. Ruangan-ruangannya terletak di tangga "I" Old Court, dan ia diketahui membenci ale Inggris dan cuacanya. Ia menderita gangguan kesehatan dan mengeluhkan ketidakmampuan perguruan tinggi tersebut memberikan anggur (wine) yang layak yang ia butuhkan (anggur merupakan pengobatan pada zaman Renaisans untuk penyakit batu empedu, yang diderita Erasmus). Hingga peristiwa pencurian artefak dalam suatu aksi permainan mahasiswa pada abad ke-19, Queens' College sempat memiliki sebuah kotrek sepanjang sepertiga meter yang konon merupakan "kotrek Erasmus", kendati saat ini perguruan tinggi itu masih memiliki apa yang mereka sebut "kursi Erasmus". Sekarang Queens' College memiliki sebuah Gedung Erasmus dan sebuah Ruang Erasmus. Peninggalannya dianggap sebagai tanda akan seseorang yang sangat mengeluhkan tidak adanya kenyamanan dan kemewahan yang biasa ia alami. Karena perguruan tinggi itu merupakan suatu intitusi berbasis humanis yang tidak biasa pada abad ke-16, Queens' College Old Library masih menyimpan banyak edisi pertama publikasi Erasmus, dan banyak diantaranya diperoleh selama periode tersebut melalui hibah ataupun pembelian, termasuk terjemahan Perjanjian Baru oleh Erasmus yang ditandatangani oleh Jan Lasky, seorang temannya dan reformis keagamaan Polandia. Kanselir John Fisher, seorang teman Erasmus yang lain, menjabat sebagai pimpinan Queens' College dari tahun 1505 sampai 1508. Persahabatannya dengan Fisher menjadi alasan dia memilih untuk tetap tinggal di Queens' College selama mengajar bahasa Yunani di perguruan tinggi itu.
Pada tahun 1499, ketika di Inggris, Erasmus sangat terkesan dengan pengajaran Alkitab John Colet yang menggunakan suatu gaya yang lebih mirip dengan para Bapa Gereja daripada kaum Skolastik. Sekembalinya dari Inggris, hal tersebut mendorongnya untuk lebih memahiri bahasa Yunani, yang memungkinkannya untuk mempelajari teologi pada suatu tingkatan yang lebih dalam dan untuk menyusun suatu edisi baru dari Vulgata, terjemahan Alkitab karya St. Hieronimus. Pada suatu kesempatan ia menulis surat kepada Colet:
"Colet yang terkasih, saya tidak mampu memberi tahu Anda betapa saya terburu-buru, dengan semua layar terkembang, menuju bacaan suci. Betapa saya tidak menyukai segala sesuatu yang menyebabkan saya kembali, atau menghambat saya".
Meskipun mengalami kekurangan uang yang kronis, ia berhasil belajar bahasa Yunani dengan melakukan studi yang intensif sepanjang hari selama tiga tahun, terus-menerus meminta kepada teman-temannya melalui surat-surat untuk mengirimkan buku dan uang kepadanya untuk para guru. Pada tahun 1506, Catatan-Catatan Perjanjian Baru karya Lorenzo Valla ditemukan, sehingga mendorong Erasmus untuk melanjutkan studi tentang Perjanjian Baru.
Erasmus lebih memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang akademisi independen dan berupaya menghindari segala tindakan ataupun ikatan formal yang dapat menghambat ekspresi literer dan kebebasan inteleknya. Sepanjang hidupnya, ia ditawari berbagai posisi kehormatan dan keuntungan dalam bidang akademik, tetapi ia menolak semuanya dan lebih memilih penghargaan secukupnya, kendati tidak pasti, atas aktvitas literer independen. Dari tahun 1506 sampai 1509, ia berada di Italia: pada tahun 1506 ia lulus sebagai Doctor Divinitatis di Universitas Torino, dan meluangkan sebagian waktunya sebagai seorang korektor pada penerbitan milik Aldus Manutius di Venesia. Menurut surat-suratnya, ia terhubung dengan seorang filsuf alam dari Venesia, Giulio Camillo, namun, terlepas dari hal ini, ia memiliki hubungan yang kurang aktif dengan para akademisi Italia.
Kediamannya di Leuven, tempat ia mengajar di universitas di sana, menyebabkan Erasmus mendapat banyak kritik dari kaum asketis, akademisi, dan klerus yang memusuhi prinsip-prinsip reformasi literer dan religius serta norma-norma longgar para penganut Renaisans yang untuk hal itu ia mengabdikan hidupnya. Pada tahun 1517, ia mendukung pendirian Collegium Trilingue di universitas tersebut, oleh Hieronymus van Busleyden temannya, untuk studi bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani—berdasarkan model Kolese Tiga Bahasa di Universitas Alcalá. Namun, karena ia merasa bahwa kurangnya simpati yang terjadi di Leuven pada saat itu sebenarnya merupakan suatu bentuk persekusi mental, ia mencari perlindungan di Basel, tempat ia merasa dapat mengekspresikan diri dengan bebas di bawah naungan keramahtamahan Swiss. Para pengagumnya dari berbagai penjuru Eropa mengunjunginya di sana dan ia dikelilingi oleh teman-teman setia, secara khusus mengembangkan suatu relasi yang langgeng dengan penerbit besar Johann Froben.
Setelah ia mahir dalam bahasa Latin, ia mulai mengekspresikan dirinya pada tema-tema kontemporer utama dalam bidang literatur dan agama. Ia merasa terpanggil untuk menggunakan pembelajarannya dalam suatu pemurnian doktrin dengan kembali ke dokumen-dokumen historis dan bahasa-bahasa asli dari Kitab Suci. Ia berupaya untuk membebaskan metode keilmuan dari kekakuan dan formalisme tradisi-tradisi abad pertengahan, namun ia tidak puas dengan hal tersebut. Perjuangannya melawan bentuk-bentuk tertentu monastisisme Kristen dan skolastisisme bukan didasarkan pada keraguan akan kebenaran doktrin, bukan pula permusuhan terhadap organisasi Gereja itu sendiri, dan juga bukan karena penolakan terhadap cara hidup monastik atau selibat. Ia melihat dirinya sebagai seorang pewarta kebenaran dengan suatu seruan untuk menggunakan akal dan tanpa mengkhawatirkan magisterium (namun bukan berarti ia menyangkal otoritas magisterium). Ia senantiasa bermaksud untuk tetap setia pada ajaran Katolik, dan karenanya ia merasa yakin kalau ia dapat secara jujur mengkritik semua orang dan segalanya. Alih-alih melibatkan diri dalam tugas-tugas, Erasmus menjadi sentra gerakan literer pada zamannya, berkorespondensi dengan lebih dari lima ratus orang dalam dunia politik dan pemikiran.
Publikasi Perjanjian Baru Yunani
Perjanjian Baru pertama yang dicetak dalam bahasa Yunani bukan dilakukan oleh Erasmus, tetapi oleh Kardinal Francisco Jiménez de Cisneros, sebagai bagian dari Alkitab Poliglot Complutensian. Bagian tersebut dicetak pada tahun 1514, namun publikasinya ditunda sampai tahun 1522 karena menunggu bagian Perjanjian Lama dan persetujuan Paus Leo X. Penundaan itu memungkinkan Perjanjian Baru Erasmus diterbitkan terlebih dahulu, pada tahun 1516.
Erasmus selama bertahun-tahun mengerjakan dua proyek: penyusunan teks-teks Yunani dan Perjanjian Baru Latin yang baru. Pada tahun 1512, ia mulai mengerjakan Perjanjian Baru Latin itu. Ia mengumpulkan semua manuskrip Vulgata yang dapat ia temukan untuk membuat sebuah edisi kritis, kemudian ia memperbaiki bahasa Latinnya. Ia menyatakan, "Adalah wajar kalau Paulus semestinya berbicara kepada jemaat di Roma dalam bahasa Latin yang agak lebih baik." Dalam fase-fase awal proyek tersebut, ia tidak pernah menyebutkan teks Yunani:
"Pikiran saya begitu bersemangat dengan bayang-bayang memperbaiki teks Hieronimus, dengan catatan-catatan, sehingga seolah-olah saya merasa terinspirasi oleh beberapa allah. Saya telah hampir selesai memperbaikinya dengan menyusun sejumlah besar manuskrip kuno, dan ini saya lakukan dengan biaya pribadi yang sangat besar."
Sementara tujuan Erasmus menerbitkan terjemahan Latin yang baru sudah cukup jelas, tidak jelas mengapa ia menyertakan teks Yunani. Kendati beberapa pihak berspekulasi bahwa ia bermaksud memproduksi teks Yunani kritis atau juga ia ingin menyaingi pencetakan Alkitab Poliglot Complutensian, tidak ada bukti untuk mendukung hal tersebut. Ia menulis, "Masih ada Perjanjian Baru terjemahan saya, dengan teks Yunani di sampingnya, dan catatan-catatan di situ oleh saya." Ia kemudian menunjukkan alasan disertakannya teks Yunani ketika membela yang dikerjakannya:
"Tetapi ada satu hal yang diteriakkan oleh fakta-fakta, dan itu bisa jelas, seperti yang mereka katakan, bahkan bagi seorang buta, bahwa seringkali karena kecerobohan atau kurangnya perhatian penerjemah, teks Yunani telah salah diterjemahkan. Kerap kali bacaan yang benar dan asli telah dirusakkan oleh para juru tulis yang tidak berpengetahuan, yang kita lihat terjadi setiap hari, atau diubah oleh para juru tulis yang kurang terpelajar dan kurang perhatian."
Karenanya ia menyertakan teks Yunani agar memungkinkan pembaca-pembaca yang mampu untuk melakukan verifikasi kualitas dari versi Latin yang dihasilkannya. Tetapi, dengan pertama-tama menyebut produk akhirnya Novum Instrumentum omne ("Semua Pengajaran Baru") dan kemudian Novum Testamentum omne ("Semua Perjanjian Baru"), ia juga mengindikasikan secara jelas bahwa ia menyajikan suatu teks dengan versi Yunani dan Latin yang secara konsisten sebanding dengan intisari esensial dari tradisi Perjanjian Baru Gereja.
Di satu sisi, dapat dipandang sah untuk mengatakan bahwa Erasmus "menyinkronkan" atau "menyatukan" tradisi Yunani dan tradisi Latin dari Perjanjian Baru dengan secara bersamaan menghasilkan sebuah versi yang diperbarui dari tradisi-tradisi tersebut. Keduanya merupakan bagian dari tradisi kanonik, sehingga ia merasa perlu untuk memastikan bahwa keduanya benar-benar menyajikan konten yang sama. Dalam terminologi modern, ia menjadikan kedua tradisi itu "kompatibel". Dikatakan bahwa hal ini jelas terbukti oleh kenyataan bahwa teks Yunani karyanya bukan sekadar dasar bagi terjemahan Latin karyanya, tetapi juga sebaliknya: terdapat banyak contoh yang memperlihatkan bahwa ia mengedit teks Yunani untuk merefleksikan versi Latinnya. Sebagai contoh, karena keenam ayat terakhir Kitab Wahyu tidak terdapat dalam manuskrip Yunani yang ia miliki, Erasmus menerjemahkan kembali teks Vulgata ke dalam bahasa Yunani. Erasmus juga menerjemahkan teks Latin ke dalam bahasa Yunani setiap kali ia menemukan adanya teks Yunani dan komentar-komentar yang menyertainya menimbulkan kebingungan, ataupun bilamana ia lebih menyukai bacaan Vulgata daripada teks Yunani.
Ukiran halaman pengakuan, terbitan Johann Froben pada tahun 1516.
Erasmus menganggapnya "terburu-buru dicetak daripada diedit", mengakibatkan sejumlah kesalahan transkripsi. Setelah membanding-bandingkan tulisan-tulisan yang dapat ia temukan, Erasmus menulis koreksi-koreksi di antara baris-baris manuskrip yang ia gunakan (di antaranya yaitu Minuscule 2) dan mengirimkannya sebagai cetakan-cetakan halaman percobaan kepada Froben. Hasil upayanya yang tergesa-gesa itu diterbitkan pada tahun 1516 oleh Johann Froben, temannya di Basel, dan menjadi hasil cetakan pertama Perjanjian Baru Yunani, Novum Instrumentum omne, diligenter ab Erasmo Rot. Recognitum et Emendatum. Erasmus menggunakan beberapa sumber manuskrip Yunani karena ia tidak memiliki akses ke satupun manuskrip lengkap. Sebagian besar manuskrip tersebut merupakan manuskrip-manuskrip Yunani akhir dari keluarga tekstual Bizantin, dan Erasmus hanya sedikit menggunakan manuskrip yang tertua karena "ia mengkhawatirkan teksnya yang diduga tidak konsisten." Ia juga mengabaikan manuskrip-manuskrip yang jauh lebih tua dan lebih baik yang dapat ia gunakan.
Dalam edisi keduanya (1519), digunakan istilah yang lebih lazim, Testamentum, sebagai ganti istilah Instrumentum. Edisi tersebut digunakan oleh Martin Luther dalam terjemahan Alkitab yang ia lakukan ke dalam bahasa Jerman, ditulis untuk orang-orang yang tidak dapat mengerti bahasa Latin. Secara keseluruhan, edisi pertama dan kedua terjual sebanyak 3.300 eksemplar. Sebagai perbandingan, Alkitab Poliglot Complutension hanya pernah dicetak sebanyak 600 eksemplar. Teks-teks edisi pertama dan kedua tersebut tidak memuat 1 Yohanes 5:7–8, yang dikenal sebagai Comma Johanneum. Erasmus tidak dapat menemukan ayat-ayat itu dalam satu pun manuskrip Yunani, selain dalam satu manuskrip yang disajikan kepadanya selama produksi edisi ketiga. Manuskrip itu sekarang dipandang sebagai suatu kreasi tahun 1520 dari Vulgata Latin, yang kemungkinan mendapat ayat-ayat tersebut dari suatu marginalia glossa abad kelima dalam sebuah salinan 1 Yohanes berbahasa Latin. Pada tanggal 2 Juni 1927, Gereja Katolik memutuskan bahwa Comma Johanneum terbuka untuk diperdebatkan, dan jarang disertakan dalam terjemahan-terjemahan keilmuan modern.
Edisi ketiga tahun 1522 kemungkinan digunakan oleh William Tyndale untuk Perjanjian Baru Inggris yang pertama (Worms, 1526) dan merupakan dasar untuk edisi Robert Stephanus tahun 1550 yang digunakan oleh penerjemah-penerjemah Alkitab berbahasa Inggris seperti Geneva Bible dan King James Version. Erasmus menerbitkan edisi keempat pada tahun 1527 yang berisikan kolom-kolom paralel teks Yunani, Vulgata Latin, dan terjemahan Latin karya Erasmus. Dalam edisi tersebut, Erasmus juga menyertakan teks Yunani keenam ayat terakhir Kitab Wahyu (yang telah ia terjemahkan kembali dari bahasa Latin ke dalam bahasa Yunani pada edisi pertamanya) dari Biblia Complutensis yang diprakarsai Kardinal Ximenes. Pada tahun 1535, Erasmus menerbitkan edisi kelima (dan terakhir), tanpa kolom Vulgata Latin, namun selebihnya serupa dengan edisi keempat. Versi-versi selanjutnya Perjanjian Baru Yunani terbitan orang lain, namun berdasarkan Perjanjian Baru Yunani Erasmus, menjadi dikenal dengan sebutan Textus Receptus.
Erasmus mendedikasikan hasil karyanya bagi Paus Leo X, yang dipandang sebagai seorang patron pembelajaran, dan menganggap hasil karya tersebut sebagai pelayanan utamanya bagi prinsip Kekristenan. Tidak lama setelahnya, ia memulai publikasi Parafrasa Perjanjian Baru, suatu penyajian populer seputar isi dari beberapa kitab. Karya tersebut, sebagaimana semua karya tulisnya, diterbitkan dalam bahasa Latin kendati dengan cepat diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, dengan dukungannya.
Awal dari Protestanisme
Gerakan Martin Luther dimulai pada tahun setelah publikasi Perjanjian Baru edisi pertama dan menguji karakter Erasmus. Berbagai isu antara gerakan-gerakan keagamaan yang berkembang saat itu, yang kelak dikenal sebagai Protestanisme, dan Gereja Katolik telah menjadi sedemikian jelas sehingga tidak banyak tokoh yang dapat menghindar dari pemanggilan untuk bergabung dalam perdebatan tersebut. Erasmus, pada puncak ketenaran literernya, tanpa terelakkan mendapat panggilan untuk berpihak ke salah satu sisi, tetapi keberpihakan merupakan hal asing yang bertentangan dengan sifat dan kebiasaannya. Dalam semua kritiknya terhadap penyalahgunaan dan kebebalan klerikal, ia selalu mengajukan protes dengan alasan bahwa ia tidak bermaksud menyerang Gereja ataupun ajaran-ajarannya, serta tidak mengadakan permusuhan dengan para pelayan Gereja. Satirenya ditertawakan, namun hanya sedikit orang yang merintangi aktivitas-aktivitasnya. Ia meyakini bahwa karyanya hingga saat itu telah mendapat pengakuan dari kaum intelektual dan juga dari kekuatan-kekuatan dominan dalam dunia keagamaan.
Surat-surat yang ditulis Erasmus tidak ia manfaatkan untuk membentuk sekumpulan pendukung. Ia memilih untuk menulis dalam bahasa Yunani dan Latin, bahasa-bahasa yang digunakan para akademisi. Kritik-kritiknya menjangkau hingga suatu elite, kendati hanya kalangan kecil pemerhati.
Ketidak sepakatan dengan Martin Luther
Dalam suratnya, De Servo Arbitrio, yang berisi tanggapan terhadap Erasmus yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Justus Jonas (1526), Luther mengatakan kalau "kehendak bebas tidak ada", karena menurutnya dosa menjadikan semua manusia sama sekali tidak dapat membawa diri mereka kepada Allah. Terkait kritik Luther terhadap Gereja Katolik, Erasmus mendeskripsikannya sebagai "sebuah sangkakala perkasa kebenaran injil" seraya menyetujui, "Jelas bahwa banyak reformasi yang diserukan Luther adalah sangat dibutuhkan." Ia sangat menghormati Luther, dan Luther berbicara dengan kekaguman terkait superioritas pembelajaran Erasmus. Luther mengharapkan kerja samanya dalam suatu pekerjaan yang tampaknya semata-mata merupakan hasil pencapaiannya sendiri secara alamiah. Dalam korespondensi awal mereka, Luther mengekspresikan kekaguman tak terkira atas semua yang telah dilakukan Erasmus dalam prinsip Kekristenan yang kukuh dan masuk akal serta mendesaknya untuk bergabung dalam pihak Lutheran. Erasmus menolak untuk memberikan komitmennya, dengan alasan bahwa keberpihakan pada Luther dapat membahayakan posisinya sebagai seorang pemimpin dalam gerakan keilmuan murni yang ia pandang sebagai panggilan hidupnya. Bagi Erasmus, harapan untuk memberikan pengaruh dalam reformasi keagamaan hanya dapat dicapai apabila ia tetap menjadi seorang akademisi independen. Ketika Erasmus ragu-ragu untuk mendukungnya, Luther yang lugas menjadi marah karena Erasmus dianggapnya menghindari tanggung jawab entah karena kepengecutan atau karena tidak menghendakinya. Bagaimanapun, keraguan di pihak Erasmus bukan karena tidak adanya keberanian atau keyakinan, melainkan karena kekhawatiran akan timbulnya gangguan dan kekerasan dalam gerakan reformasi. Pada tahun 1524, Erasmus menulis kepada Philip Melanchthon:
Saya tidak tahu apa-apa terkait jemaat Anda; setidaknya jemaat Anda berisi orang-orang yang akan, saya khawatirkan, menjungkirbalikkan keseluruhan sistem dan menggerakkan para pangeran menuju penggunaan kekuatan untuk mengekang orang-orang yang baik sebagaimana yang buruk. Injil, firman Allah, iman, Kristus, dan Roh Kudus – kata-kata tersebut senantiasa ada di bibir mereka; lihatlah kehidupan mereka dan mereka berbicara bahasa yang lain lagi.
Sekali lagi, pada tahun 1529, ia menulis "Sebuah surat kepada mereka yang dengan keliru bermegah bahwa mereka adalah jemaat Injili" kepada Vulturius Neocomus (Gerardus Geldenhouwer). Dalam surat tersebut, Erasmus mengeluhkan doktrin-doktrin dan moralitas para Reformis Protestan:
Anda dengan tegas menentang kemewahan para imam, ambisi para uskup, tirani Paus Roma, dan celoteh para sofis; menentang Misa, puasa, dan doa kita; dan Anda tidak merasa puas mengurangi penyalahgunaan-penyalahgunaan yang mungkin terjadi pada hal-hal tersebut, melainkan harus meniadakan semuanya sama sekali
Lihatlah ke sekeliling generasi 'Injili' ini, dan amati apakah di antara mereka tidak ada kesenangan yang dibaktikan untuk kemewahan, hawa nafsu, ataupun ketamakan, daripada mereka yang sedemikian Anda benci. Tunjukkan kepada saya satu orang yang melalui Injil tersebut telah diperoleh kembali dari kemabukan ke dalam kesadaran diri, dari kemarahan dan kegusaran ke dalam kesabaran diri, dari ketamakan ke dalam kemurahan hati, dari cemar mulut ke dalam baik wicara, dari ketidaksenonohan ke dalam kesahajaan. Saya akan menunjukkan kepada Anda banyak sekali orang yang menjadi lebih buruk dengan mengikutinya Doa-doa meriah Gereja dihapuskan, tetapi sekarang sangat banyak orang yang tidak pernah berdoa sama sekali.
Saya tidak pernah masuk ke dalam pertemuan-pertemuan keagamaan rahasia mereka, tetapi saya terkadang melihat mereka kembali dari khotbah-khotbah yang mereka hadiri, wajah-wajah mereka semua memperlihatkan kemarahan, dan kegarangan yang mengagumkan, seolah-olah mereka digerakkan oleh roh jahat.
Siapa yang pernah melihat dalam pertemuan-pertemuan mereka salah seorang di antara mereka meneteskan air mata, menebah dadanya, atau berduka karena dosa-dosanya? Pengakuan kepada imam dihapuskan, tetapi sangat sedikit sekarang yang mengaku kepada Allah.... Mereka telah melarikan diri dari Yudaisme agar mereka dapat menjadi pengikut Epikurean.
Terlepas dari kecelaan-kecelaan moril para reformis yang ia keluhkan di atas, Erasmus juga mencemaskan terjadinya perubahan doktrin, dengan mengutip sejarah panjang Gereja sebagai salah satu kubu pertahanan melawan inovasi. Dalam buku I Hyperaspistes karyanya, ia mengajukan permasalahan ini secara terus terang kepada Luther:
Kita berurusan dengan hal ini: Apakah suatu pikiran yang ajek berangkat dari keyakinan yang diwariskan oleh sedemikian banyak tokoh yang terkenal karena kekudusan dan mukjizat, berangkat dari keputusan-keputusan Gereja, dan memasrahkan jiwa kita kepada iman seseorang seperti Anda yang baru saja muncul saat ini dengan segelintir pengikut, kendatipun tokoh-tokoh terkemuka dari kawanan Anda tidak sepakat dengan Anda atau juga di antara mereka sendiri. Anda bahkan tidak sepakat dengan diri Anda sendiri, karena dalam Pembelaan (Assertio) yang sama ini Anda mengatakan satu hal di awal dan sesuatu yang lain di kemudian hari, menarik kembali apa yang Anda katakan sebelumnya.
Melanjutkan kecamannya terhadap Luther, dan dikandaskan oleh gagasan bahwa "tidak ada interpretasi murni Kitab Suci di mana-mana selain di Wittenberg", Erasmus menyinggung poin penting lain dari kontroversi ini:
Anda menetapkan bahwa kita seharusnya tidak mensyaratkan ataupun menerima apa saja kecuali Kitab Suci, tetapi Anda melakukannya dengan cara yang mengharuskan kita membiarkan Anda menjadi penafsir satu-satunya, menolak semua yang lain. Dengan demikian kemenangan akan menjadi milik Anda apabila kita membiarkan Anda menjadi bukan pelayan tetapi tuhan dari Kitab Suci.
Meskipun Erasmus berupaya untuk tetap bersikap netral dalam perselisihan-perselisihan doktrinal, masing-masing pihak menuduhnya berpihak pada yang lain, yang kemungkinan disebabkan karena netralitasnya. Bukan karena tidak adanya penghormatan kepada kedua belah pihak, namun karena ingin menghormati keduanya:
"Saya membenci pertikaian karena bertentangan dengan ajaran-ajaran Kristus dan bertentangan dengan kecondongan kodrat yang tersembunyi. Saya ragu kalau salah satu pihak dalam perselisihan dapat ditekan tanpa kerugian besar."
Dalam katekismus karyanya (berjudul Penjelasan tentang Pengakuan Iman Rasuli) (1533), Erasmus menentang ajaran Luther dengan menyatakan bahwa Tradisi Suci yang tidak tertulis sama sahihnya sebagai suatu sumber wahyu sebagaimana halnya Alkitab, dengan menyebutkan kitab-kitab Deuterokanonika dalam kanon Alkitab dan dengan mengakui tujuh sakramen. Siapa saja yang mempertanyakan keperawanan abadi Maria disebut Erasmus sebagai "penghujat-penghujat". Bagaimanapun, ia mendukung gagasan bahwa kaum awam seharusnya dapat mengakses Alkitab.
Dalam suratnya kepada Nikolaus von Amsdorf, Luther menolak katekismus karya Erasmus dan menyebut Erasmus sebagai "ular berbisa", "pembohong", serta "benar-benar mulut dan organ Setan".
Erasmus mendapat tuduhan dari para rahib yang menentang Reformasi Protestan, bahwa ia telah:
"mempersiapkan jalan dan bertanggung jawab atas Martin Luther. Kata mereka, Erasmus telah meletakkan telurnya, dan Luther telah menetaskannya. Erasmus dengan jenaka menolak tuduhan tersebut, mengklaim bahwa Luther telah menetaskan seekor burung yang sama sekali berbeda.".
Kehendak bebas
Dua kali dalam periode diskusi besar tersebut, Erasmus membiarkan dirinya masuk ke dalam ranah kontroversi doktrinal, suatu ranah yang tidak lazim bagi sifatnya dan belum pernah ia praktikkan. Salah satu topik yang ia hadapi adalah kehendak bebas, sebuah pertanyaan krusial. Dalam De libero arbitrio diatribe sive collatio (biasanya disingkat dengan judul De libero arbitrio, "Tentang Kehendak Bebas"), karyanya tahun 1524, ia mengecam pandangan Lutheran tentang kehendak bebas. Ia merumuskan kedua sisi argumen secara tidak memihak. Karya tersebut tidak menganjurkan suatu aksi tertentu, sehingga dipandang sebagai keunggulannya oleh kalangan Erasmian dan kesalahannya di mata kalangan Lutheran. Sebagai tanggapan, Luther menulis De servo arbitrio (Tentang Keterbelengguan Kehendak), karyanya tahun 1525, yang menyerang De libero arbitrio dan Erasmus sendiri secara pribadi, hingga mengklaim bahwa Erasmus adalah bukan seorang Kristen. Dalam karyanya itu, Luther mengatakan bahwa manusia yang telah berdosa tidak lagi memiliki kehendak bebas sehingga keadaan manusia yang telah jatuh dalam dosa sama seperti kuda atau keledai yang jalannya diatur oleh penunggangnya dan tidak dapat lagi menikmati kebebasan. Erasmus menanggapi secara panjang lebar dengan menulis dua bagian Hyperaspistes (1526–27). Dalam kontroversi ini, Erasmus membiarkannya terlihat seolah-olah ia ingin menuntut lebih jauh terkait kehendak bebas daripada yang dimaksudkan oleh St. Paulus dan St. Agustinus menurut interpretasi Luther. Bagi Erasmus, pokok pentingnya adalah bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai Erasmus memanfaatkan sejumlah besar otoritas ternama, dari periode Patristik misalnya Origenes, St. Yohanes Krisostomus, St. Ambrosius, St. Hieronimus, dan St. Agustinus, di samping juga banyak penulis Skolastik seperti St. Thomas Aquinas dan Beato Duns Scotus. Isi karya-karya Erasmus berkaitan pula dengan pemikiran selanjutnya mengenai 'keadaan pertanyaan', termasuk perspektif-perspektif dari mazhab via moderna dan dari Lorenzo Valla, yang gagasan-gagasannya ia tolak.
Karena tanggapan publik terhadap Luther menghasilkan momentum, gangguan-gangguan sosial—yang dikhawatirkan Erasmus sebelumnya dan yang di dalamnya Luther melepaskan diri—mulai bermunculan, misalnya Perang Petani Jerman, kekacauan-kekacauan Anabaptis di Jerman dan di Negara-Negara Dataran Rendah, ikonoklasme, serta radikalisasi para petani di seluruh Eropa. Bila kejadian-kejadian tersebut adalah hasil dari reformasi, ia dipandang bersyukur karena telah mencegahnya. Namun, ia senantiasa dituduh telah memulai seluruh "tragedi" tersebut (sebagaimana kalangan Katolik menjuluki Protestanisme).
Ketika kota Basel benar-benar mengadopsi Reformasi Protestan pada tahun 1529, Erasmus menyerahkan kediamannya di sana dan menetap di kota imperial Freiburg im Breisgau.
Toleransi beragama
Sejumlah karya Erasmus meletakkan suatu dasar bagi toleransi beragama dan ekumenisme. Sebagai contoh, dalam De libero arbitrio, yang menentang pandangan-pandangan tertentu Martin Luther, Erasmus mengatakan bahwa orang-orang yang berselisih paham seharusnya menunjukkan penguasaan diri dalam bahasa yang mereka gunakan, "karena dengan cara ini, kebenaran, yang seringkali hilang di tengah perselisihan yang terlampau banyak, dapat semakin pasti dirasakan." Gary Remer menulis, "Sebagaimana Cicero, Erasmus menyimpulkan bahwa kebenaran distimulasi oleh suatu relasi yang lebih harmonis antara teman bicara." Kendati Erasmus tidak menolak hukuman terhadap penganut bidah, dalam kasus-kasus perorangan pada umumnya ia menganjurkan sikap moderat dan menentang hukuman mati. Ia menulis, "Lebih baik menyembuhkan seorang yang sakit daripada membunuhnya."
Sakramen-sakramen
Suatu cobaan dari Reformasi Protestan adalah ajaran tentang sakramen-sakramen, dan inti dari pertanyaan tersebut adalah perayaan Ekaristi atau Perjamuan Kudus. Pada tahun 1530, Erasmus menerbitkan sebuah edisi baru dari risalah ortodoks karya Algerus yang ditulis untuk melawan Berengarius dari Tours, seorang pengajar bidah pada abad ke-11. Erasmus menambahkan suatu catatan dalam edisi tersebut, menegaskan keyakinannya akan realitas Tubuh Kristus setelah konsekrasi dalam Ekaristi, yang umumnya disebut sebagai transubstansiasi. Menurut Erasmus, kalangan sakramentarian (istilah historis yang mengacu pada Protestan Calvinis) yang dipimpin oleh Yohanes Oecolampadius menyebut dia memiliki pandangan yang serupa dengan pandangan mereka untuk mengklaim dirinya demi gerakan "keliru" dan skismatik mereka.
Kemangkatan
Ketika tenaganya mulai hilang, Erasmus memutuskan untuk menerima undangan Ratu Maria dari Hongaria untuk pindah dari Freiburg ke Brabant. Namun, ketika bersiap untuk pindah pada tahun 1536, ia tiba-tiba meninggal dunia karena penyakit disentri saat berkunjung ke Basel.
Ia tetap setiap kepada otoritas kepausan di Roma, namun ia tidak berkesempatan menerima ritus terakhir Gereja Katolik, yaitu viaticum; dan tidak jelas apakah ia meminta kehadiran seorang imam atau tidak karena tidak disebutkan dalam laporan kemangkatannya. Menurut Jan van Herwaarden, hal ini selaras dengan pandangannya bahwa tanda-tanda lahiriah tidak penting; yang penting adalah hubungan langsung orang beriman dengan Allah, yang ia tulis "sebagaimana yang Gereja [Katolik] yakini". Bagaimanapun, Herwaarden mengamati bahwa "ia bukannya menyingkirkan begitu saja ritus-ritus dan sakramen-sakramen tetapi menegaskan bahwa orang yang sekarat dapat saja meraih keadaan keselamatan tanpa ritus-ritus yang dilayankan oleh imam, asalkan iman dan roh mereka dalam keselarasan dengan Allah." Ia dimakamkan dengan upacara besar-besaran di Basel Minster (bekas katedral) di sana.
Kata-kata terakhir Erasmus menjelang wafat, sebagaimana dicatat oleh Beatus Rhenanus temannya, sepertinya "Allah Yang Terkasih" (bahasa Belanda: Lieve God). Sebuah patung dirinya yang terbuat dari perunggu didirikan di kota kelahirannya pada tahun 1622, menggantikan karya sebelumnya yang terbuat dari batu.
Tulisan-tulisan
Erasmus menulis subjek-subjek eklesiologi maupun yang berkaitan dengan minat umum orang banyak. Pada tahun 1530-an, tulisan-tulisan Erasmus berkontribusi terhadap 10 sampai 20 persen dari seluruh penjualan buku di Eropa. Ia dipandang sebagai pencipta pepatah, "Di tanah orang buta, orang bermata satu adalah raja". Dari kolaborasinya dengan Publio Fausto Andrelini, ia menyusun suatu Paremiografi atau kumpulan pepatah maupun peribahasa Yunani dan Latin, berjudul Adagia. Erasmus umumnya juga dipandang sebagai pencetus frasa "kotak Pandora", disebabkan oleh suatu kesalahan dalam penerjemahan Pandora rekaan Hesiodos karena Erasmus menerjemahkan kata Yunani pithos (tabung penyimpanan yang besar) menjadi kata Latin pyxis (boks/kotak).
Tulisan-tulisannya yang lebih serius diawali dengan Enchiridion militis Christiani, "Buku Pegangan Seorang Kesatria Kristen" (1503), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris beberapa tahun kemudian oleh William Tyndale muda. (Ada yang menyamakan terjemahan yang lebih harfiah dari enchiridion - 'pisau belati' - dengan "ekuivalensi rohani pisau Swiss Army modern.") Dalam karya singkat tersebut, Erasmus menggarisbawahi pandangan-pandangan seputar kehidupan Kristen yang normal, yang ia habiskan sepanjang sisa hidupnya di dunia ini untuk menjelaskannya. Menurutnya, kejahatan utama pada zamannya yaitu formalisme - mengikuti gerak irama tradisi tanpa memahami dasar-dasarnya dalam ajaran-ajaran Kristus. Forma-forma dapat mengajar jiwa bagaimana cara beribadah kepada Allah, namun juga dapat menutupi semangat ataupun memuaskan roh. Dalam tinjauannya seputar bahaya formalisme, Erasmus membahas tentang monastisisme, penghormatan kepada orang kudus, perang, semangat golongan/kelas, dan kelemahan minor "masyarakat".
Enchiridion ditulis dengan suatu gaya yang lebih menyerupai khotbah daripada satire. Di dalamnya Erasmus menantang anggapan-anggapan umum, melukiskan kaum klerus sebagai pendidik-pendidik yang seharusnya berbagi perbendaharaan pengetahuan mereka dengan kaum awam. Ia menekankan disiplin-disiplin rohani perorangan, dan menyerukan reformasi yang ia gambarkan sebagai suatu langkah bersama untuk kembali ke para Bapa Gereja dan Kitab Suci. Satu hal yang dipandang paling penting, ia dengan antusias memuji pembacaan kitab suci sebagai sesuatu yang vital karena kekuatannya untuk mentransformasi dan memotivasi menuju cinta kasih. Serupa dengan Persaudaraan Kehidupan Bersama, ia menuliskan bahwa Perjanjian Baru adalah hukum Kristus yang menjadi panggilan setiap orang untuk dipatuhi, dan Kristus merupakan teladan yang menjadi panggilan mereka untuk diteladani.
Menurut Ernest Barker, "Di samping karyanya dalam hal Perjanjian Baru, Erasmus bekerja keras juga, dan bahkan dengan lebih berlelah-lelah, dalam hal para Bapa awal...Di antara para Bapa Latin, ia menyunting karya-karya St Hieronimus, St Hilarius, dan St Agustinus; di antara para [Bapa] Yunani, ia mengerjakan Ireneus, Origenes, dan Krisostomus."
Erasmus juga menulis tentang Pier Gerlofs Donia (Greate Pier), seorang pemberontak dan pejuang kebebasan Frisia yang melegenda, kendati lebih banyak berisi kritik daripada pujian akan aksi-aksinya. Erasmus memandangnya sebagai seorang yang bebal dan brutal, yang lebih memilih menggunakan kekuatan fisik daripada kearifan.
Salah satu karya Erasmus yang paling terkenal, yang diilhami oleh De triumpho stultitiae (ditulis oleh Faustino Perisauli, humanis Italia), yaitu Pujian akan Kebodohan, dipublikasikan dengan judul ganda Moriae encomium (bahasa Yunani, Latinisasi) dan Laus stultitiae (bahasa Latin). Karya tersebut merupakan kecaman satiris terhadap takhayul-takhayul dan tradisi-tradisi masyarakat Eropa pada umumnya dan Gereja Barat pada khususnya, ditulis pada tahun 1509 dan dipublikasikan pada tahun 1511, serta didedikasikan untuk Sir Thomas More teman baiknya ("Morias Encomium" juga dapat dibaca dengan makna "Pujian akan More").
Institutio principis Christiani (Pendidikan Seorang Pangeran Kristen) (Basel, 1516) ditulis sebagai nasihat kepada seorang raja muda bernama Carlos dari Spanyol (kelak dikenal sebagai Karl V, Kaisar Romawi Suci). Erasmus menguraikan prinsip-prinsip umum kehormatan dan ketulusan pada fungsi-fungsi khusus sang pangeran, yang secara keseluruhan ia representasikan sebagai pelayan rakyat. Pendidikan dipublikasikan pada tahun 1516, tiga tahun setelah publikasi Sang Pangeran (Il Principe) karya Niccolò Machiavelli; perbandingan di antara kedua karya tersebut dipandang patut dicatat. Machiavelli menyatakan bahwa, untuk mempertahankan pengendalian melalui kekuatan politis, lebih aman bagi seorang pangeran untuk membuat dirinya ditakuti daripada dicintai. Erasmus lebih memilih agar sang pangeran menjadikan dirinya dicintai, dan sangat menganjurkan suatu pendidikan yang menyeluruh agar ia memerintah secara adil dan benar, dengan lembut hati, serta menjauhkan diri dari tindakan penindasan.
Sebagai hasil dari aktivitas-aktivitas reformasinya, Erasmus mendapati dirinya berada dalam hubungan buruk dengan dua kelompok besar yang berseberangan. Tahun-tahun terakhir hidupnya di dunia ini didera berbagai kontroversi dengan orang-orang yang kepadanya ia sempat bersimpati. Salah satu tokoh penting di antaranya yaitu Ulrich von Hutten, seorang yang brilian namun labil, yang telah menempatkan diri dalam keyakinan Lutheran dan mengklaim bahwa Erasmus akan melakukan hal yang sama seandainya ia jujur dengan dirinya sendiri. Dalam tulisan berisi tanggapannya pada tahun 1523, Spongia adversus aspergines Hutteni, Erasmus menampilkan keahliannya dalam semantik. Ia menuduh Hutten telah salah menafsirkan ungkapan-ungkapannya mengenai reformasi, dan ia menegaskan kembali tekadnya untuk tidak pernah memisahkan diri dari Gereja.
Ciceronianus dipublikasikan pada tahun 1528, berisi kritik terhadap gaya bahasa Latin keilmuan yang secara eksklusif dan fanatik berdasar pada karya-karya tulis Cicero. Etienne Dolet menuliskan tanggapan atasnya dengan judul Erasmianus pada tahun 1535.
Karya besar Erasmus yang terakhir adalah Ecclesiastes atau "Pengkhotbah Injil" (Basel, 1536). Karya tersebut diterbitkan pada tahun ia wafat, dan di dalamnya ia memberikan komentar-komentar tentang kegunaan khotbah.
No comments:
Post a Comment