Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Sep 9, 2020

Makedonia

Makedonia atau Makedon (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía) adalah sebuah kerajaan kuno yang terletak di pinggiran Yunani pada masa Arkais dan Klasik, dan kemudian menjadi negara yang dominan di Yunani pada masa Helenistik. Kerajaan ini dibentuk oleh Dinasti Argeadai, tetapi dalam sejarahnya juga pernah dikuasai oleh Dinasti Antipatridai dan Antigonidai. Kerajaan tempat tinggal orang Makedonia Kuno ini mula-mula berpusat di bagian timur laut Semenanjung Yunani,  yang berbatasan dengan Epiros di barat, Paionia di utara, Trakia di timur, dan Tesalia di selatan.

 

Sebelum abad ke-4 SM, Makedonia merupakan sebuah kerajaan kecil di luar wilayah yang didominasi oleh negara kota besar seperti Atena, Sparta, dan Tivai, dan Makedonia juga sempat tunduk kepada Akemeniyah (Persia). Nasib Makedonia berubah pada masa pemerintahan seorang raja Argeadai yang bernama Filipos II (m. 359 SM – 336 SM). Filipos II mereformasi militer Makedonia salah satunya dengan memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang dipersenjatai dengan tembiang sarissa, dan berkat reformasi ini ia dapat mengalahkan Atena dan Tivai dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM. Salah satu putra Filipos II yang dikenal dengan julukan Aleksander Agung melanjutkan upaya ayahnya untuk menguasai seluruh Yunani dan ia menghancurkan kota Tivai setelah kota tersebut mencoba memberontak. Aleksander lalu berhasil menjatuhkan Kekaisaran Akemeniyah dan menaklukkan wilayah yang terbentang hingga ke Sungai Indus. Semenjak itu, seni dan sastra Yunani berkembang di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan, dan kemajuan dalam bidang filsafat, teknik, dan sains pun menyebar di wilayah-wilayah tersebut.

 

Setelah kematian Aleksander Agung pada tahun 323 SM, Perang Diadokhoi meletus akibat perebutan kekuasaan yang melibatkan para jenderal yang dahulu berperang bersama Aleksander, dan kemudian wilayah yang telah ditaklukan pun dibagi-bagi. Hal tersebut tidak membuat Makedonia kehilangan status sebagai pusat kebudayaan dan politik Yunani di kawasan Mediterania bersama dengan Mesir Ptolemaik, Kekaisaran Seleukia, dan Kerajaan Pergamon. Makedonia mulai mengalami kemunduran setelah meletusnya Peperangan Makedonia dan kebangkitan Romawi sebagai negara terkuat di kawasan Mediterania. Sesudah kemenangan Romawi dalam Perang Makedonia Ketiga pada tahun 168 SM, monarki Makedonia dibubarkan dan digantikan oleh negara-negara pengekor Romawi. Monarki sempat dipulihkan pada masa Perang Makedonia Keempat pada tahun 150–148 SM, tetapi upaya tersebut tidak berhasil dan Romawi akhirnya mendirikan provinsi Makedonia.

 

Raja-raja Makedonia memiliki kekuasaan absolut dan mengendalikan sumber daya negara seperti emas dan perak. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan penambangan untuk mencetak uang, mendanai pasukan mereka, dan pada masa Filipos II juga untuk membangun armada laut. Tidak seperti negara-negara diadokhoi yang didirikan sepeninggalan Aleksander Agung, kultus kekaisaran yang digalakkan oleh Aleksander tidak pernah diberlakukan di Makedonia, tetapi penguasa Makedonia tetap berperan sebagai imam agung kerajaan dan merupakan pendukung berbagai kultus dari dalam dan luar negeri. Wewenang raja secara teoretis dibatasi oleh lembaga militer, sementara beberapa kota di persemakmuran Makedonia dianugerahi otonomi yang besar, termasuk memiliki pemerintahan demokratis dengan majelis rakyat.

 

Nama Makedonia (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía) berasal dari etnonim Μακεδόνες (Makedónes), yang mengakar dari kata dalam bahasa Yunani Kuno μακεδνός (makednós), yang berarti "tinggi" (kemungkinan mendeskripsikan orang-orangnya). Asal mula kata tersebut sama dengan asal usul kata sifat μάκρος (mákros), yang bermakna "panjang" atau "tinggi" dalam bahasa Yunani Kuno. Nama ini awalnya diyakini memiliki arti "orang dataran tinggi", "orang tinggi", atau "orang yang bertumbuh tinggi".  Namun, Robert S. P. Beekes mengklaim bahwa kedua istilah tersebut berasal dari substratum Pra-Yunani dan tak dapat dijelaskan dengan menggunakan morfologi Indo-Eropa.

 

Sejarawan-sejarawan Yunani Klasik seperti Herodotos dan Thukidides mencatat sebuah legenda yang menyatakan bahwa raja-raja Makedonia dari Dinasti Argeadai adalah keturunan Temenos, raja Argos, sehingga raja-raja tersebut dapat mengklaim bahwa Herakles adalah salah satu leluhur mereka, dan bahwa mereka adalah keturunan langsung Zeus, dewa utama dalam mitologi Yunani.  Pernyataan bahwa keluarga Argeadai merupakan keturunan Temenos diterima kebenarannya oleh para juri Hellanodikai dalam ajang Olimpiade Kuno, sehingga Raja Aleksander I dari Makedonia (m. 498 SM – 454 SM) diperbolehkan ikut bertanding berkat identitas Yunani-nya. Tidak banyak yang diketahui mengenai masa pemerintahan ayah Aleksander, yaitu Amintas I dari Makedonia (m. 547 SM – 498 SM), pada periode Arkais. Namun, terdapat pula legenda lain yang menyatakan bahwa pendiri Dinasti Argeadai adalah Perdikas I dari Makedonia atau Karanos dari Makedonia, dan terdapat lima atau delapan raja sebelum Amintas I.

 

Kerajaan Makedonia terletak di sepanjang sungai Haliakmon dan Aksios di kawasan Makedonia Hilir yang terletak di sebelah utara Gunung Olimpus. Sejarawan Robert Malcolm Errington menduga bahwa salah satu raja Argeadai terawal mendirikan kota Aigai (sekarang Vergina) sebagai ibu Setahun setelah Darius I dari Persia (m. 522 SM – 486 SM) melancarkan serangan ke Eropa melawan orang-orang Skitia, Paionia, Trakia, dan beberapa negara-kota Yunani di Balkan, jenderal Persia Megabazos menggunakan cara diplomasi untuk membujuk Amintas I agar bersedia menjadi vasal Kekaisaran Akemeniyah, sehingga dimulailah periode Makedonia Akemeniyah. Hegemoni Akemeniyah sempat terganggu oleh Pemberontakan Ionia (499–493 SM), tetapi jenderal Persia Mardonius berhasil mengembalikan kekuasaan Akemeniyah di Makedonia.  Makedonia diberikan otonomi yang besar dan tidak pernah dijadikan satrapi (semacam provinsi) Akemeniyah, tetapi wilayah tersebut tetap dituntut untuk menyediakan pasukan kepada Akemeniyah. Aleksander I memberikan dukungan militer Makedonia kepada Xerxes I (m. 486 SM – 465 SM) selama invasi Yunani kedua pada 480–479 SM, dan pasukan Makedonia bahkan bertarung di pihak Persia dalam Pertempuran Plataia pada tahun 479 SM. Setelah kemenangan besar Yunani di Salamis pada 480 SM, Aleksander I ditugaskan sebagai diplomat Akemeniyah dengan tugas mengusulkan perjanjian perdamaian dan persekutuan dengan Atena, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Tak lama sesudahnya, pasukan Akemeniyah terpaksa mundur dari daratan Eropa, alhasil berakhirlah kekuasaan Persia di Makedonia. kota pada pertengahan abad ke-7 SM. Sebelum abad ke-4 SM, kerajaan tersebut mencakup kawasan di sekitaran bagian barat dan tengah wilayah Makedonia di Yunani modern. Kerajaan tersebut secara bertahap meluas ke wilayah Makedonia Hulu, yang ditinggali oleh suku Linkestis dan Elimiotis (keduanya termasuk ke dalam puak Yunani), dan ke kawasan Ematia, Eordaia, Botiaia, Migdonia, Krestonia, dan Almopia (wilayah-wilayah yang ditempati oleh berbagai suku bangsa seperti Trakia dan Frigia).  Orang-orang non-Yunani yang tinggal bersebelahan dengan Makedonia adalah orang Trakia yang tinggal di kawasan timur laut, Iliria di barat laut, dan Paionia di utara, sementara wilayah Tesalia di selatan dan Epiros di barat ditinggali oleh orang Yunani dengan budaya yang serupa dengan orang Makedonia.

 

Keterlibatan dalam peradaban Yunani Klasik.

 

Meskipun awalnya merupakan vasal Persia, Aleksander I dari Makedonia tetap menjalin hubungan diplomatik yang bersahabat dengan bekas musuh-musuhnya di Yunani, yaitu Liga Delia yang dipimpin oleh Atena dan Liga Peloponesos pimpinan Sparta.  Namun, penerus Aleksander I, yakni Perdikas II (m. 454 SM – 413 SM) memimpin Kerajaan Makedonia dalam empat konflik terpisah melawan Atena; pada saat yang sama, wilayah Makedonia di timur laut terancam oleh serangan-serangan yang dilancarkan oleh seorang penguasa Trakia yang bernama Sitalkes dari Kerajaan Odrisia. Mulanya negarawan Atena Perikles berupaya menggalakkan pendirian permukiman di daerah Sungai Strimon di dekat Kerajaan Makedonia, dan kota Amfipolis didirikan pada 437/436 SM agar Atena dapat memperoleh persediaan emas dan perak ditambah dengan kayu dan damar gegala untuk angkatan laut Atena.  Perdikas sempat tidak mengambil tindakan dan mungkin malah menyambut kedatangan Atena karena mereka sama-sama bermusuhan dengan orang-orang Trakia. Keadaan berubah setelah Atena bersekutu dengan saudara dan sepupu Perdikas II yang telah memberontak melawannya. Dua perang terpisah terjadi antara Makedonia dan Atena dari tahun 433 dan 431 SM. Raja Makedonia membalas tindakan Atena dengan mendukung pemberontakan di wilayah sekutu Atena di Kalkidiki dan berhasil mengambil alih kota Potidaia yang strategis. Kota Potidaia lalu dikepung oleh Atena setelah mereka merebut kota Therma dan Veria dari Makedonia, tetapi pengepungan tersebut mengalami kegagalan; Therma kemudian dikembalikan kepada Makedonia dan sebagian besar wilayah Kalkidiki pun diserahkan kepada Atena sesuai dengan perjanjian perdamaian yang ditengahi oleh Sitalkes, yang memberikan bantuan militer kepada Atena untuk mendapatkan sekutu-sekutu Trakia yang baru sebagai gantinya.

 

Pada 429 SM, di tengah berkecamuknya Perang Peloponesos (431–404 SM) antara Atena dan Sparta, Perdikas II mengirim bantuan militer kepada Sparta di Akarnania, tetapi pasukan Makedonia terlambat datang, sehingga pasukan Atena dapat memenangkan Pertempuran Naupaktus.  Pada tahun yang sama, pasukan Atena mencoba membalas tindakan ini dengan meyakinkan Sitalkes untuk menyerang Makedonia, tetapi Atena menolak mengirimkan angkatan lautnya untuk membantu Sitalkes di Kalkidiki, kemungkinan karena Atena merasa takut dengan ambisi sang raja Trakia. Sitalkes mundur dari Makedonia akibat kurangnya persediaan untuk para tentara pada musim dingin. Pada 424 SM, Perdikas II membantu meyakinkan sekutu-sekutu Atena di Trakia untuk membelot dan bersekutu dengan Sparta.  Sebagai gantinya, jenderal Sparta Brasidas bersedia membantu Perdikas II memadamkan pemberontakan Arabaios, penguasa Linkestis (di Makedonia Hulu), meskipun ia sempat mengungkapkan kekhawatirannya karena Arabaios didukung oleh pasukan Iliria dalam jumlah yang besar dan juga karena sekutu Sparta di Kalkidiki rentan diserang Atena ketika pasukan Sparta sedang disibukkan di tempat lain. Dalam Pertempuran Linkestis, pasukan Makedonia panik dan melarikan diri sebelum pertarungan dimulai, sehingga Brasidas mengamuk, dan pasukan-pasukannya menjarah kereta kuda pengangkut perbekalan milik Makedonia yang telah ditinggalkan.  Akibatnya, Perdikas II berbalik melawan Sparta dan kembali bersekutu dengan Atena, sehingga menghadang bala bantuan Liga Peloponesos di Tesalia dan memaksa Arabaios dan para pemberontak lainnya untuk menyerah dan menerima raja Makedonia sebagai penguasa mereka.

Brasidas meninggal dunia pada tahun 422 SM, yang juga merupakan tahun ketika Atena dan Sparta menyetujui Perjanjian Perdamaian Nikias yang membebaskan Makedonia dari segala kewajiban untuk membantu sekutunya, Atena. Setelah kemenangan Sparta dalam Pertempuran Mantinea pada tahun 418 SM, Sparta membentuk sebuah persekutuan dengan Argos, dan Perdikas II sendiri ingin bergabung dengan persekutuan ini karena terdapat kemungkinan bahwa sekutu-sekutu Sparta akan tetap berada di Kalkidiki. Namun, setelah Argos mendadak berbalik mendukung Atena, angkatan laut Atena dapat memblokade pelabuhan-pelabuhan Makedonia dan menyerang Kalkidiki pada tahun 417 SM. Perdikas II mengajak berdamai pada 414 SM dan membentuk sebuah persekutuan dengan Atena yang kemudian akan dilanjutkan oleh putranya sekaligus penerusnya, Arkelaos I (m. 413 SM – 399 SM). Alhasil angkatan laut Atena memberikan dukungan kepada Arkelaos I selama pengepungan Pidna oleh Makedonia pada tahun 410 SM, dan sebagai gantinya Makedonia memasok Atena dengan kayu dan peralatan laut.

 

Meskipun Arkelaos I menghadapi beberapa pemberontakan di dalam negeri dan harus menghalau serangan Iliria yang dipimpin oleh Siras dari Linkestis, ia mampu merambah ke wilayah Tesalia dengan mengirim bantuan militer kepada sekutu-sekutunya.  Walaupun ia masih mempertahankan Aigai sebagai pusat upacara dan keagamaan, Arkelaos I memindahkan ibu kota kerajaan ke utara di Pela, yang pada saat itu terletak di pinggir danau yang dihubungkan oleh sebuah sungai ke Laut Aegea.  Ia memperkuat mata uang Makedonia dengan mencetak koin-koin yang memiliki kandungan perak yang lebih tinggi serta dengan mengeluarkan koin tembaga yang terpisah.  Istana kerajaannya diisi oleh cendekiawan-cendekiawan ternama seperti seorang dramawan Atena yang bernama Euripides.  Setelah pembunuhan Arkelaos I (diduga akibat hubungan homoseksual dengan hamba muda di istananya), Kerajaan Makedonia mengalami kekacauan; dari tahun 399 hingga 393 SM, terdapat paling tidak empat penguasa: Orestes (putra Arkelaos I), Aeropos II (paman, wali raja, dan pembunuh Orestes), Pausanias (putra Aeropos II), dan Amintas II (yang menikahi putri bungsu Arkelaos I).  Tidak banyak yang diketahui mengenai masa yang kacau ini, tetapi masa ini berakhir setelah Amintas III (m. 393 SM – 370 SM, putra Aridaios dan cucu Amintas I) membunuh Pausanias dan merebut takhta Makedonia.

 

Amintas III sempat melarikan diri dari kerajaannya sekitar tahun 393 atau 383 SM (berdasarkan catatan-catatan sejarah yang saling bertentangan), dalam rangka menghindari serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh suku Dardani dari Iliria yang dipimpin oleh Bardilis. Seorang pengklaim takhta yang bernama Argaios memerintah selama kepergian Amintas III, tetapi Amintas III kemudian dapat kembali ke kerajaannya dengan bantuan sekutu-sekutunya di Tesalia.  Amintas III juga hampir dilengserkan oleh pasukan kota Olintos yang memimpin Liga Kalkidiki, tetapi berkat bantuan dari Teleutias (saudara Raja Sparta Agesilaos II), pasukan Makedonia berhasil membuat Olintos menyerah dan membubarkan Liga Kalkidiki pada 379 SM.

 

Aleksander II (putra dari Euridike I dan Amintas III, m. 370 SM – 368 SM) menggantikan ayahnya dan langsung menyerbu Tesalia dan mengobarkan perang melawan tagus (pemimpin militer tertinggi Tesalia) Aleksander dari Ferai, dan mereka berhasil menaklukkan kota Larisa.  Pasukan Tesalia ingin menjatuhkan Aleksander II sekaligus Aleksander dari Ferai, sehingga mereka meminta bantuan kepada Pelopidas dari Tivai; Pelopidas berhasil merebut kembali Larisa dan kemudian menerima sandera berupa adik kandung Aleksander II (yang kelak akan menjadi Raja Filipus II, m. 359 SM – 336 SM), sesuai dengan ketentuan perjanjian yang telah disepakati dengan Makedonia.  Setelah nyawa Aleksander dicabut oleh saudara iparnya, Ptolemaios dari Aloros, Ptolemaios bertindak sebagai wali untuk Raja Perdikas III (adik Aleksander II, m. 368 SM – 359 SM); setelah Perdikas III mencapai usia dewasa pada tahun 365 SM, ia memerintahkan agar Ptolemaios dihukum mati. Masa kekuasaan Perdikas III merupakan masa kestabilan politik dan pemulihan keuangan.  Namun, serangan dari Atena yang dipimpin oleh Timoteos (anak Konon) mengakibatkan jatuhnya kota Metone dan Pidna, dan kemudian keadaan semakin memburuk setelah Bardilis dari Iliria kembali melancarkan serangan yang berujung pada kematian Perdikas III dan 4.000 pasukan Makedonia dalam pertempuran.

 

Kebangkitan Makedonia

 

Filipos II berusia dua puluh empat tahun saat ia naik takhta pada 359 SM.  Berkat kemampuan diplomasinya, ia berhasil meyakinkan orang-orang Trakia yang dipimpin oleh Berisades untuk tidak lagi membantu salah seorang pengklaim takhta Makedonia yang bernama Pausanias, dan ia juga berhasil membuat Atena menghentikan dukungan mereka kepada seorang pengklaim takhta yang lain, yaitu Argaios II.  Ia melakukannya dengan menyuap orang-orang Trakia dan Paionia (yang merupakan sekutu Trakia), dan juga dengan menyepakati perjanjian dengan Atena yang menyatakan bahwa Makedonia mencabut klaimnya atas kota Amfipolis. Selain itu, ia berhasil berdamai dengan orang-orang Iliria yang sempat mengancam wilayah perbatasan Makedonia.

 

Filipos II mengawali masa pemerintahannya dengan merombak pasukan Makedonia. Ia mengubah susunan, peralatan, dan pelatihan pasukannya, termasuk dengan memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang bersenjatakan tembiang panjang (sarissa), dan reformasi ini terbukti mujarab setelah mereka berhasil mengalahkan Iliria dan Paionia.  Catatan-catatan sejarah kuno yang saling berseberangan telah memicu perdebatan di kalangan ahli modern mengenai seberapa besar sumbangsih para pendahulu Filipos II terhadap reformasi militer ini, dan sejauh mana gagasannya dipengaruhi oleh masa-masa remajanya saat ia ditawan di Tivai sebagai sandera politik, khususnya setelah ia bertemu dengan jenderal Epaminondas.

 

Orang Makedonia dan orang-orang Yunani pada umumnya mempraktikkan monogami, tetapi Filipos II melakukan poligami dan mempunyai tujuh istri, dan mungkin hanya satu istrinya yang tidak memiliki latar belakang sebagai persembahan tanda kesetiaan dari keluarga ningrat atau sekutu barunya. Ia menikah dengan Fila dari Elimeia yang berasal dari golongan ningrat Makedonia Hulu, serta seorang putri Iliria yang bernama Audata dengan tujuan membentuk persekutuan. Untuk membentuk persekutuan dengan Larisa di Tesalia, ia menikahi seorang bangsawati Tesalia yang bernama Filina pada tahun 358 SM, dan dari pernikahannya ini Filipos II dikaruniai seorang putra yang kelak akan memerintah dengan nama Filipos III Aridaios (m. 323 SM – 317 SM).  Pada 357 SM, ia menikahi Olimpias untuk bersekutu dengan Aribas, yang merupakan Raja Epiros dan Molosoi. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra yang kemudian memerintah dengan sebutan Aleksander III (lebih dikenal dengan julukan Aleksander Agung) dan mengklaim sebagai keturunan Akhilles dalam legenda melalui garis keturunan Raja Epiros.  Tidak diketahui secara pasti apakah raja-raja Akemeniyah-lah yang berpengaruh terhadap praktik poligami Filipos II, meskipun pendahulunya Amintas III memiliki tiga putra yang diyakini lahir dari istri keduanya, Gigaea: Arkelaos, Aridaios, dan Menelaus.  Filipos II memerintahkan penghukuman mati Arkelaos pada 359 SM, sementara dua bersaudara yang lain melarikan diri ke Olintos, yang kemudian menjadi sebuah casus belli untuk memulai Perang Olintia (349–348 SM).

 

Saat Atena sedang disibukkan dengan Perang Sosial (357–355 SM), Filipos II merebut kembali Amfipolis dari Atena pada 357 SM dan pada tahun berikutnya juga berhasil menguasai kembali Pidna dan Potidaia; ia lalu menyerahkan Potidaia kepada Liga Kalkidiki seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.  Pada 356 SM, ia mengambil alih Krinides dan mendirikan kembali kota tersebut dengan nama Filipi, sementara salah satu jenderalnya yang bernama Parmenion berhasil mengalahkan raja Iliria Grabos dari Grabaei.  Selama pengepungan Methone tahun 355–354 SM, Filipos II kehilangan mata kanannya akibat tembakan panah, tetapi tetap berhasil merebut kota tersebut dan memperlakukan para penduduknya dengan baik, tidak seperti Potidaia yang telah diperbudak rakyatnya.

 

Filipos II lalu turut serta dalam Perang Suci Ketiga (356–346 SM). Perang ini dimulai setelah Fokis menaklukkan dan menjarah kuil Apollo di Delfi daripada harus melunasi denda yang belum dibayarkan. Akibat tindakan tersebut, Liga Amfiktionia menyatakan perang terhadap Fokis, dan pada saat yang sama perang saudara juga meletus di antara para anggota Liga Tesalia karena masing-masing dari anggota liga tersebut ada yang bersekutu dengan Fokis atau Tivai.  Kampanye militer yang dikobarkan oleh Filipos II melawan Ferai di Tesalia pada 353 SM (atas desakan dari Larisa) sempat mengalami kegagalan akibat dua kekalahan besar di tangan jenderal Fokis Onomarkos. Walaupun begitu, Filipos II berhasil mengalahkan Onomarkos dalam Pertempuran Lapangan Krokus pada 352 SM, sehingga Filipos II terpilih sebagai pemimpin (arkhon) Liga Tesalia, mendapatkan satu kursi di Dewan Amfiktionia, dan dapat membentuk persekutuan dengan Ferai melalui pernikahan dengan Nikesipolis, kemenakan tiran Iason dari Ferai.

 

Setelah bertempur melawan penguasa Trakia Kersobleptes, pada tahun 349 SM, Filipos II memulai perang melawan Liga Kalkidiki, yang telah didirikan kembali pada 375 SM.  Meskipun Karidemos dari Atena mencoba membantu Kalkidiki,  Olintos ditaklukan oleh Filipos II pada 348 SM, sementara para penduduknya dijual sebagai budak, termasuk beberapa warga Atena.  Atena berupaya meyakinkan sekutu-sekutunya untuk melancarkan serangan balasan (termasuk pidato-pidato Demostenes), tetapi upaya-upaya ini gagal, sehingga pada 346 SM Atena menyepakati Perjanjian Perdamaian Filokrates dengan Makedonia.  Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Atena akan mencabut klaim atas wilayah pesisir Makedonia, Kalkidiki, dan Amfipolis; sebagai gantinya, orang-orang Atena yang telah diperbudak akan dilepaskan, dan Filipos II juga memberikan jaminan bahwa mereka tak akan menyerang permukiman-permukiman Atena di Kersonesos Trakia.  Sementara itu, Fokis dan Termopilai ditaklukkan oleh pasukan Makedonia, para perampok kuil Delfi dihukum mati, dan Filipos II memperoleh dua kursi Fokis di Dewan Amfiktionia serta jabatan pembawa acara dalam ajang Pesta Olahraga Pitia.  Atena awalnya menentang keanggotaan Makedonia di dewan dan menolak hadir dalam ajang tersebut sebagai tanda protes, tetapi pada akhirnya mereka bersedia menerimanya, mungkin setelah diyakinkan oleh Demostenes dalam orasinya, Tentang Perdamaian.

 

Dalam rentang waktu beberapa tahun sesudahnya, Filipos II merombak pemerintahan-pemerintahan lokal di Tesalia, berperang melawan penguasa Iliria Pleuratos I, melengserkan Aribas di Epiros dan menggantikannya dengan saudara ipar Filipos II, Aleksander I (melalui pernikahan Filipos II dengan Olimpias), serta mengalahkan Kersobleptes di Trakia. Dengan ini ia dapat memperluas kendali Makedonia ke wilayah Helespontos untuk mengantisipasi serangan dari Akemeniyah.  Pada tahun 342 SM, Filipos II menaklukkan sebuah kota Trakia yang terletak di wilayah yang kini menjadi bagian dari Bulgaria, dan lalu mengganti namanya menjadi Filipopolis (sekarang Plovdiv).  Perang melawan Atena meletus pada tahun 340 SM, sementara Filipos II disibukkan oleh pengepungan terhadap kota Perintos dan Bizantion yang mengalami kegagalan, disusul dengan perang melawan Skitia di sepanjang sungai Donau yang berhasil dimenangkan oleh Makedonia, serta keterlibatan Makedonia dalam Perang Suci Keempat melawan Amfisa pada 339 SM.  Tivai kemudian mengusir garnisun Makedonia dari Nikea (dekat Termopilai), sehingga Tivai bergabung dengan Atena, Megara, Korintos, Akhaia, dan Euboia dalam upaya terakhir mereka untuk membendung Makedonia dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM.  Setelah Makedonia berhasil memenangkan pertempuran tersebut, Filipos II mendirikan sebuah oligarki di Tivai, tetapi mereka tidak mengambil tindakan keras terhadap Atena, karena mereka masih ingin memanfaatkan angkatan laut mereka dalam rencana penyerangan terhadap Akemeniyah. Ia lalu membentuk Liga Korintos yang meliputi negara-negara kota Yunani besar kecuali Sparta. Walaupun Kerajaan Makedonia secara resmi tidak tergabung ke dalam liga tersebut, pada tahun 337 SM, Filipos II terpilih sebagai pemimpin (hegemon) dewan liga tersebut (sinedrion) serta panglima tertinggi (strategos autokrator) dalam kampanye militer yang akan datang melawan Akemeniyah.  Salah satu alasan yang mendasari keputusan Filipos II untuk menyerang Akemeniyah mungkin adalah ketakutan di Yunani bahwa Persia akan kembali melakukan serangan. Persia menawarkan bantuan kepada Perintos dan Bizantion pada 341–340 SM, mengingat Makedonia perlu menguasai kawasan Trakia dan Laut Aegea untuk mempersiapkan serangan ke Akemeniyah, sementara Raja Persia Artaxerxes III terus memperkukuh kekuasaannya atas provinsi-provinsi di Anatolia barat. Filipos II sendiri menginginkan wilayah Anatolia barat, karena sumber daya alam di tempat tersebut jauh lebih kaya daripada di Balkan.

 

Setelah Filipos II menikahi Kleopatra Euridike (keponakan jenderal Atalus), perbincangan mengenai calon penerus yang baru selama pesta pernikahan membuat murka istri Filipos II, Olimpias, dan anak mereka, Aleksander (yang juga merupakan veteran Pertempuran Kaironeia). Aleksander dan Olimpias bersama-sama melarikan diri ke Epiros sebelum akhirnya Aleksander dipanggil lagi ke Pela oleh Filipos II. Saat Filipos II berencana menjodohkan anaknya Aridaios dengan Ada dari Karia (putri seorang satrap Persia di Karia yang bernama Pixodarus), Aleksander meminta agar dirinya yang dinikahkan dengan Ada. Filipos lalu membatalkan pernikahan tersebut dan mengasingkan para penasihat Aleksander (Ptolemaios, Nearkos, dan Harpalos).  Agar tetap rukun dengan Olimpias, Filipos II menikahkan putri mereka Kleopatra dengan saudara Olimpia (dan paman Kleopatra), Aleksander I dari Epiros, tetapi Filipos II malah dibunuh oleh penjaganya Pausanias dari Orestis saat pesta pernikahan tersebut digelar, sehingga ia digantikan oleh Aleksander pada 336 SM.

 

Kekaisaran

 

Para ahli modern telah memperdebatkan kemungkinan keterlibatan Aleksander III dan ibunya Olimpias dalam pembunuhan Filipos II, terutama mengingat bahwa Filipos II sudah memutuskan untuk tidak melibatkan Aleksander dalam rencana serangannya ke Asia dan sebagai gantinya akan menjadikannya sebagai wali raja Yunani dan wakil hegemon Liga Korintos; faktor lain yang membuat ahli-ahli mencurigai keterlibatan mereka berdua adalah kemungkinan lahirnya calon penerus laki-laki yang lain dari pernikahan Filipos II dengan istri barunya, Kleopatra Euridike.  Aleksander III (m. 336 SM – 323 SM) dinyatakan sebagai raja oleh sebuah majelis yang terdiri dari para tentara dan ningrat, dengan Antipatros dan Parmenion sebagai tokoh-tokoh paling penting di majelis tersebut. Pada akhir masa pemerintahan dan karier militernya pada 323 SM, Aleksander menguasai sebuah kekaisaran yang membentang di Yunani daratan, Asia Kecil, Syam, Mesir Kuno, Mesopotamia, Persia, dan berbagai wilayah di Asia Tengah dan Selatan (termasuk wilayah yang sekarang menjadi Pakistan).  Salah satu tindakan pertamanya adalah memakamkan ayahnya di Aigai.  Para anggota Liga Korintos memberontak setelah mendengar kabar kematian Filipos II, tetapi pemberontakan tersebut tak lama kemudian dipadamkan oleh pasukan militer dan juga dengan menggunakan diplomasi, sehingga Aleksander terpilih sebagai hegemon liga tersebut yang akan melaksanakan rencana serangan ke Akemeniyah.

 

Pada tahun 335 SM, Aleksander mengobarkan perang melawan salah satu suku Trakia yang disebut Tribali di Haemus Mons dan di sepanjang sungai Donau, sehingga suku tersebut terpaksa menyerah di Pulau Peuke. Tak lama setelahnya, raja Iliria Kleitos dari Dardani mengancam akan menyerang Makedonia, tetapi Aleksander mengambil tindakan terlebih dahulu dengan mengepung suku Dardani di Pelion (sekarang di Albania). Ketika Tivai kembali memberontak melawan Liga Korintos dan mengepung garnisun Makedonia di Kadmia, Aleksander meninggalkan front Iliria dan bergerak menuju Tivai, yang kemudian ia kepung. Setelah berhasil menembus tembok kota, pasukan Aleksander membunuh 6.000 orang, menawan 30.000 warga, dan membakar kota tersebut hingga rata dengan tanah sebagai peringatan terhadap negara-negara Yunani lainnya (kecuali Sparta) supaya mereka tidak mencoba menentang Aleksander.

 

Sepanjang karier militernya, Aleksander memenangkan setiap pertempuran yang ia pimpin secara langsung. Kemenangan pertamanya melawan bangsa Persia di Asia Kecil dalam Pertempuran Granikos pada 334 SM diwujudkan dengan mengirimkan kontingen kavaleri kecil sebagai pengalih perhatian agar pasukan infanterinya dapat menyeberangi sungai, dan disusul oleh serbuan dari kavaleri "hetairoi".  Aleksander memimpin serbuan kavaleri dalam Pertempuran Isos pada 333 SM, sehingga Raja Persia Darius III dan tentaranya terpaksa melarikan diri.  Meskipun jumlah pasukannya lebih unggul, Darius III lagi-lagi terpaksa mundur akibat kekalahan dalam Pertempuran Gaugamela pada 331 SM. Sang Raja Persia kemudian ditangkap dan dihukum mati oleh seorang satrap Baktria sekaligus kerabatnya, Besos, pada 330 SM. Aleksander lalu memburu dan menghukum mati Besos di sebuah tempat yang sekarang berada di Afganistan, sesambil menguasai kawasan Sogdia. Dalam Pertempuran Hidaspes pada tahun 326 SM (sekarang di Punjab), gajah-gajah perang Raja Puru dari Paurawa mengancam pasukan Aleksander, alhasil Aleksander memerintahkan pasukannya untuk membentuk barisan terbuka, mengepung gajah-gajah, dan menjatuhkan pengendali gajah dengan menggunakan tembiang sarissa. Ketika pasukan Makedonia mengancam akan melakukan pemberontakan pada 324 SM di Opis, Babilonia (sekarang di dekat Baghdad, Irak), Aleksander malah menawarkan gelar-gelar militer Makedonia dan tanggung jawab yang lebih besar kepada para perwira Persia, sehingga pasukannya terpaksa memohon pengampunan dalam perjamuan makan yang diadakan untuk merukunkan kembali Persia dan Makedonia.

 

Aleksander mungkin telah melemahkan pemerintahannya sendiri dengan menunjukkan tanda-tanda megalomania. Selain mengeluarkan propaganda yang efektif seperti kisah pemotongan Ikatan Gordia, ia juga berupaya menggambarkan dirinya sebagai seorang dewa hidup dan putra Zeus setelah ia mengunjungi orakel di Siwah, Gurun Libya (sekarang Mesir), pada 331 SM. Pada tahun 327 SM, ia mencoba meminta bawahannya untuk bersujud di hadapannya di Baktra, yang merupakan sebuah tindakan proskinesis yang diserap dari praktik di istana Persia, tetapi upaya ini dicap sebagai penistaan agama oleh bawahan-bawahannya di Makedonia dan Yunani setelah seorang sejarawan istana yang bernama Kalistenes menolak mengikuti ritual tersebut. Ketika Aleksander membunuh Parmenion di Ekbatana (sekarang dekat Hamadan, Iran) pada 330 SM, hal ini menjadi "gejala melebarnya jurang antara kepentingan raja dengan kepentingan negara dan rakyatnya", sebagaimana diamati oleh Errington. Pembunuhan Kleitos yang Hitam pada 328 SM oleh Aleksander juga disebut sebagai tindakan yang "berdendam dan sembrono" oleh Dawn L. Gilley dan Ian Worthington.  Selain itu, Aleksander meneruskan kebiasaan poligami ayahnya; ia mendorong pasukannya untuk menikahi perempuan-perempuan di Asia, dan ia memberikan contoh secara langsung dengan menikahi Roxana, seorang putri Baktria yang berasal dari Sogdia. Aleksander kemudian menikahi Stateira II (putri sulung Darius III) dan Parisatis II (putri bungsu Artaxerxes III) dalam upacara pernikahan Susa pada 324 SM.

 

Sementara itu, di Yunani, Raja Sparta Agis III berupaya memimpin pemberontakan Yunani melawan Makedonia. Ia dikalahkan pada 331 SM dalam Pertempuran Megalopolis oleh Antipatros. Sebelum Antipatros berangkat untuk melancarkan kampanye militer di Peloponesos, gubernur Trakia yang bernama Memnon berhasil dibujuk untuk tidak memberontak dengan menggunakan cara diplomasi. Antipatros menyerahkan urusan hukuman terhadap Sparta kepada Liga Korintos yang dikepalai oleh Aleksander, yang pada akhirnya memutuskan untuk mengampuni Sparta asalkan mereka mengirim lima puluh bangsawan sebagai sandera. Kekuasaan Antipatros tidak terlalu disukai di Yunani akibat tindakannya (mungkin atas perintah dari Aleksander) yang menempatkan pasukan-pasukan Makedonia di kota-kota dan mengasingkan orang-orang yang tidak puas dengan kepemimpinannya, tetapi pada tahun 330 SM, Aleksander mengumandangkan bahwa tirani-tirani yang ada di Yunani akan dihapuskan dan kebebasan Yunani akan dipulihkan.

 

Setelah Aleksander Agung meninggal dunia di Babilonia pada 323 SM, Olimpias langsung melayangkan tuduhan kepada Antipatros dan faksinya bahwa mereka telah meracuninya, meskipun tak ada bukti yang membenarkan hal ini. Akibat ketiadaan pewaris takhta secara resmi, komando militer Makedonia pun terpecah: satu pihak menyatakan saudara tiri Aleksander, Filipos III Aridaios (m. 323 SM – 317 SM), sebagai raja, sementara yang lainnya berpihak kepada bayi putra Aleksander dari pernikahannya dengan Roxana, Aleksander IV (m. 323 SM – 309 SM). Sepeninggalan Aleksander, orang-orang Yunani (kecuali Euboia dan Boiotia) juga langsung memberontak melawan Antipatros dan memulai Perang Lamia (323–322 SM). Setelah Antipatros mengalami kekalahan dalam Pertempuran Termopilai pada 323 SM, ia melarikan diri ke Lamia, dan kemudian ia dikepung oleh komandan Atena Leostenes. Antipatros lalu diselamatkan oleh pasukan Makedonia yang dipimpin oleh Leonatos.  Antipatros pada akhirnya berhasil memadamkan pemberontakan tersebut. Kematiannya pada 319 SM mengakibatkan kekosongan kekuasaan, sementara dua orang yang dinyatakan sebagai raja menjadi pion dalam perebutan kekuasaan di antara para diadokhoi (bekas jenderal pasukan Aleksander).

 

Peristiwa lain yang terjadi setelah kematian Aleksander adalah pertemuan dewan tentara di Babilonia. Dewan tentara tersebut mengangkat Filipos III sebagai raja dan kiliarkos Perdikas sebagai walinya. Antipatros, Antigonos Monoftalmos, Krateros, dan Ptolemaios membentuk sebuah koalisi melawan Perdikas dalam sebuah perang saudara yang disulut oleh perampasan pengangkut jenazah Aleksander Agung oleh Ptolemaios.  Perdikas menyerang Ptolemaios di Mesir untuk menghukumnya, tetapi serangan itu mengalami kegagalan, dan 2.000 pasukannya tewas tenggelam saat sedang bergerak di kawasan Sungai Nil; Perdikas kemudian dibunuh oleh para perwiranya sendiri di tengah kampanye militer tersebut pada tahun 321 SM. Sementara itu, Eumenes dari Kardia berhasil membunuh Krateros dalam pertempuran, tetapi hal ini tidak terlalu berdampak terhadap jalannya Pembagian Triparadeisos pada tahun 321 SM di Siria, ketika koalisi yang memenangkan perang menyelesaikan permasalahan perwalian raja yang baru dan hak-hak wilayah.  Antipatros diangkat sebagai wali atas dua raja. Sebelum Antipatros wafat pada 319 SM, ia mengangkat seorang loyalis Argeadai yang bernama Poliperkones sebagai penerusnya, sehingga melewatkan anak kandung Antipatros, Kasandros, dan menghiraukan hak raja untuk memilih walinya sendiri (karena Filipos III dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil), dan juga mengabaikan dewan tentara.

 

Setelah bersekutu dengan Ptolemaios, Antigonos, dan Lisimakos, Kasandros memerintahkan perwiranya Nikanor untuk merebut benteng Munikia di kota pelabuhan Atena, Pireas; tindakan ini melanggar dekret dari Poliperkones yang menyatakan bahwa kota-kota Yunani harus terbebas dari garnisun Makedonia, sehingga meletuslah Perang Diadokhoi Kedua (319–315 SM). Akibat kekalahan-kekalahan Poliperkones, pada tahun 317 SM, Filipos III (dengan keterlibatan istri Filipos III yang aktif secara politik, Euridike II dari Makedonia) secara resmi menjadikan Kasandros sebagai pengganti Poliperkones.  Sesudah itu, Poliperkones meminta bantuan dari Olimpias di Epiros. Pasukan gabungan Epiros, Aitolia, dan Poliperkones menyerang Makedonia dan berhasil memaksa pasukan Filipos III dan Euridike untuk menyerah, sehingga Olimpias dapat menghukum mati sang raja dan memaksa sang ratu untuk bunuh diri. Olimpias kemudian memerintahkan agar Nikanor dan puluhan bangsawan Makedonia lainnya dibunuh, tetapi pada musim semi tahun 316 SM, Kasandros berhasil mengalahkan pasukan Olimpias, menangkapnya, dan menyeretnya ke meja hijau atas dakwaan pembunuhan, dan akhirnya Olimpias dijatuhi hukuman mati.

 

Kasandros menikahi putri Filipos II yang bernama Thessalonike dan memperluas kendali Makedonia ke wilayah Iliria hingga mencapai Epidamnos. Pada 313 SM, wilayah tersebut direbut kembali oleh raja Iliria Glaukias dari Taulanti. Pada 316 SM, Antigonos merebut wilayah Eumenes dan memutuskan untuk mengusir Seleukos Nikator dari wilayah Seleukos di Babilonia, sehingga Kasandros, Ptolemaios, dan Lisimakos melayangkan ultimatum terhadap Antigonos pada tahun 315 SM yang menuntut agar ia menyerahkan berbagai wilayah di Asia.  Antigonos langsung bersekutu dengan Poliperkones yang berbasis di Korintos, dan Antigonos lalu juga mengeluarkan sebuah ultimatum kepada Kasandros yang menuduhnya sebagai pembunuh Olimpias dan menuntut agar ia menyerahkan keluarga kerajaan, yaitu Raja Aleksander IV dan ibu suri Roxana.  Konflik tersebut berlangsung hingga musim dingin tahun 312/311 SM, dan kemudian perjanjian perdamaian yang baru mengakui Kasandros sebagai jenderal Eropa, Antigonos sebagai "yang pertama di Asia", Ptolemaios sebagai jenderal Mesir, dan Lisimakos sebagai jenderal Trakia.  Kasandros lalu memerintahkan agar Aleksander IV dan Roxana dihukum mati pada musim dingin tahun 311/310 SM. Kemudian, pada tahun 306–305 SM, para diadokhoi dinyatakan sebagai raja di wilayah mereka masing-masing.

 

Era Helenistik

 

Era Yunani Helenistik ditandai dengan percekcokan antara Dinasti Antipatridai yang dipimpin oleh Kasandros (m. 305 SM – 297 SM) melawan Dinasti Antigonidai pimpinan jenderal Makedonia Antigonos I Monofthalmos (m. 306 SM – 301 SM) dan putranya yang kelak akan menjadi raja Demetrios I (m. 294 SM – 288 SM). Kasandros mengepung Atena pada 303 SM, tetapi terpaksa mundur ke Makedonia ketika Demetrios menyerbu Boiotia untuk memutus jalur mundur pasukan Kasandros. Walaupun Antigonos dan Demetrios berupaya membentuk kembali Liga Helenik seperti pada masa Filipos II dengan mereka berdua sebagai hegemon, sebuah koalisi tandingan didirikan oleh Kasandros, Ptolemaios I Soter (m. 305 SM – 283 SM) dari Dinasti Ptolemaik Mesir, Seleukos I Nikator (m. 305 SM – 281 SM) dari Kekaisaran Seleukia, dan Raja Trakia Lisimakos (m. 306 SM – 281 SM); koalisi ini berhasil mengalahkan pasukan Antigonidai dalam Pertempuran Ipsos pada 301 SM, yang menewaskan Antigonos dan memaksa Demetrios untuk melarikan diri.

 

Kasandros wafat pada tahun 297 SM, dan putranya Filipos IV yang sakit juga tutup usia pada tahun yang sama; Filipos IV lalu digantikan oleh dua anak laki-laki Kasandros yang lain, yaitu Aleksander V dari Makedonia (m. 297 SM – 294 SM) dan Antipatros II dari Makedonia (m. 297 SM – 294 SM), sementara ibu mereka Thessalonike dari Makedonia bertindak sebagai wali raja. Ketika Demetrios sedang bertempur melawan pasukan Antipatridai di Yunani, Antipatros II membunuh ibunya sendiri untuk memperoleh kekuasaan. Aleksander V yang merasa tersudut lalu meminta bantuan dari Piros dari Epiros (m. 297 SM – 272 SM), yang pernah bertempur bersama dengan Demetrios dalam Pertempuran Ipsos, tetapi Piros kemudian dikirim sebagai sandera ke Mesir sebagai bagian dari perjanjian antara Demetrios dan Ptolemaios I. Sebagai balasan karena telah mengalahkan pasukan Antipatros II dan membuat Antipatros II melarikan diri ke istana Lisimakos di Trakia, Piros dianugerahi wilayah paling barat kerajaan Makedonia.  Demetrios lalu memerintahkan pembunuhan keponakannya, Aleksander V, dan kemudian dinyatakan sebagai raja Makedonia, tetapi bawahan-bawahannya menentang gaya kepemimpinan otokrasinya.

 

Perang pecah antara Piros dan Demetrios pada tahun 290 SM setelah Lanasa (istri Piros dan putri Agatokles dari Sirakousai) mencampakkan Piros, mendekati Demetrios, dan menawarkan kepada Demetrios pulau Korkira yang sebelumnya diperolehnya sebagai maskawin.  Perang berlangsung sampai tahun 288 SM, ketika Demetrius tidak lagi didukung oleh rakyat Makedonia dan melarikan diri dari negara tersebut. Makedonia kemudian terbagi antara Piros dan Lisimakos; Piros menguasai Makedonia barat, sementara Lisimakos mengendalikan Makedonia timur.  Pada tahun 286 SM, Lisimakos mengusir Piros dan pasukannya dari Makedonia.  Pada 282 SM, perang meletus antara Seleukos I melawan Lisimakos; Lisimakos tewas dalam Pertempuran Kurupedion, sehingga Seleukos I dapat mengambil alih wilayah Trakia dan Makedonia. Namun, Seleukos I dibunuh pada tahun 281 SM oleh salah seorang perwiranya yang bernama Ptolemaios Keraunos, putra Ptolemaios I dan cucu Antipatros. Ptolemaios Keraunos kemudian dinyatakan sebagai raja Makedonia, tetapi ia gugur dalam pertempuran melawan para penyerang Kelt pada tahun 279 SM selama invasi Galia ke Yunani.  Tentara Makedonia menyatakan jenderal Sostenes dari Makedonia sebagai raja, meskipun ia tampaknya menolak gelar tersebut.  Setelah mengalahkan pasukan seorang penguasa Galia yang bernama Bolgios dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Brenos, Sostenes wafat dan meninggalkan Makedonia dalam keadaan yang kacau.  Pasukan Galia kembali meluluhlantakkan Makedonia sampai Antigonos Gonatas (putra Demetrios) mengalahkan mereka di Trakia pada tahun 277 SM dalam Pertempuran Lismakeia dan kemudian dinyatakan sebagai raja Antigonos II dari Makedonia (m. 277 SM – 274 SM; m. 272 SM – 239 SM).

 

Pada 280 SM, Piros melancarkan kampanye militer di Magna Gresia (Italia selatan) melawan Republik Romawi, dan konflik ini dikenal dengan sebutan Perang Piros, dan kemudian ia juga melancarkan serangan ke Sisilia yang berada di bawah kendali Kartago pada masa itu.  Ptolemaios Keraunos sendiri mengamankan jabatannya di Makedonia dengan memberikan lima ribu prajurit dan dua puluh gajah perang kepada Piros. Setelah mengalami kegagalan, Piros kembali ke Epiros pada 275 SM, dan kemenangan Romawi dalam konflik tersebut telah memperkuat negara ini, karena kota-kota Yunani di Italia selatan (seperti Tarentum) telah menjadi sekutu Romawi.  Piros lalu menyerang Makedonia pada tahun 274 SM dan berhasil mengalahkan tentara Antigonos II yang sebagian besar terdiri dari tentara bayaran dalam Pertempuran Aous pada tahun 274 SM. Piros juga berhasil mengusirnya dari Makedonia, sehingga Antigonos II terpaksa mengungsi bersama dengan armadanya.

 

Piros kehilangan dukungan dari banyak orang di Makedonia pada tahun 273 SM setelah tentara bayarannya yang berasal dari Galia menjarah pemakaman kerajaan di Aigai.  Piros mengejar Antigonos II di Peloponesos, tetapi Antigonos II pada akhirnya berhasil menaklukkan kembali Makedonia.  Piros tewas saat mengepung Argos pada 272 SM, alhasil Antigonos II dapat mengklaim kembali wilayah Yunani lainnya.  Ia kemudian merestorasi pemakaman Dinasti Argeadai di Aigai dan mencaplok wilayah Kerajaan Paionia.

 

Liga Aitolia menghambat ambisi Antigonos II di Yunani tengah. Pembentukan Liga Akaya pada 251 SM juga mengakibatkan terusirnya pasukan Makedonia dari sebagian besar wilayah Peloponesos, dan pada masa-masa tertentu liga ini turut menguasai Atena dan Sparta.  Meskipun Kekaisaran Seleukia bersekutu dengan Dinasti Antigonidai di Makedonia dalam upaya melawan Mesir Ptolemaik pada masa Perang Siria, angkatan laut Ptolemaik sangat mengganggu upaya Antigonos II untuk mengendalikan daratan utama Yunani.  Dengan bantuan dari angkatan laut Ptolemaik, negarawan Atena Kremonides melancarkan sebuah pemberontakan melawan Makedonia yang dikenal sebagai Perang Kremonides (267–261 SM).  Pada 265 SM, Atena dikepung oleh pasukan Antigonos II, dan armada Ptolemaik dikalahkan dalam Pertempuran Kos. Atena akhirnya menyerah pada 261 SM.  Setelah Makedonia membentuk sebuah persekutuan dengan penguasa Seleukia Antiokos II, sebuah kesepakatan damai antara Antigonos II dan Ptolemaios II Filadelfos dari Mesir akhirnya tercapai pada 255 SM.

 

Pada 251 SM, Aratos dari Sikion melancarkan sebuah pemberontakan melawan Antigonos II, dan pada 250 SM, Ptolemaios II menyatakan dukungannya kepada Aleksander dari Korintos yang telah menyatakan dirinya sebagai raja. Walaupun Aleksander wafat pada 246 SM dan Antigonos berhasil memenangkan pertempuran laut melawan Ptolemaios di Andros, Akrokorintos direbut oleh pasukan Aratos pada 243 SM, dan kemudian Korintos tergabung ke dalam Liga Akaya. Antigonos II berdamai dengan Liga Akaya pada 240 SM dan harus merelakan wilayah yang telah lepas di Yunani. Antigonos II meninggal dunia pada 239 SM dan digantikan oleh putranya, Demetrios II dari Makedonia (m. 239 SM – 229 SM). Dalam upaya untuk membentuk persekutuan dengan Makedonia untuk mempertahankan diri dari serangan Aitolia, ibu suri dan wali raja Epiros, Olimpias II, menawarkan putrinya Ftia dari Makedonia untuk dinikahkan dengan Demetrios II. Demetrios II menerima usulannya, tetapi hubungannya dengan Seleukia rusak akibat perceraiannya dengan Stratonike dari Makedonia. Walaupun pernikahan ini membuat Aitolia bersekutu dengan Liga Akaya, Demetrios II menyerang Boiotia dan berhasil merebutnya dari Aitolia pada 236 SM.

 

Liga Akaya berhasil menaklukkan Megalopolis pada 235 SM, dan pada akhir masa pemerintahan Demetrios II, sebagian besar wilayah Peloponesos (kecuali Argos) telah direbut dari Makedonia. Persekutuan Demetrios II dengan Epiros juga bubar setelah sistem monarki dilengserkan oleh sebuah revolusi republikan.  Demetrios II meminta bantuan kepada raja Iliria Agron dalam upaya untuk mempertahankan Akarnania dari Aitolia, dan pada 229 SM, mereka berhasil mengalahkan gabungan angkatan laut Aitolia dan Liga Akaya dalam Pertempuran Paxos. Seorang penguasa Iliria yang lain, yaitu Longaros dari Kerajaan Dardania, menyerang Makedonia dan mengalahkan pasukan Demetrios II tak lama sebelum Demetrios tutup usia pada tahun 229 SM.  Meskipun putranya yang masih muda (Filipos) mewarisi takhta Makedonia, wali rajanya yang bernama Antigonos III Doson (keponakan Antigonos II, m. 229 SM – 221 SM) dinyatakan sebagai raja oleh tentaranya, dengan Filipos sebagai pewarisnya, setelah Makedonia berhasil memenangkan sejumlah pertempuran melawan pasukan Iliria di utara dan pasukan Aitolia di Tesalia.

 

Aratos mengirim utusan ke istana Antigonos III pada 226 SM untuk mengajak bersekutu, karena raja Kleomenes III dari Sparta telah menjadi ancaman bagi wilayah-wilayah Yunani lainnya selama Perang Kleomenes (229–222 SM).  Antigonos III bersedia membantu Aratos, tetapi sebagai gantinya ia menuntut pengembalian wilayah Korintos kepada Makedonia, dan Aratos akhirnya bersedia pada tahun 225 SM. Pada 224 SM, pasukan Antigonos III merebut Arkadia dari Sparta. Setelah membentuk sebuah liga Helenistik yang serupa dengan Liga Korintos pada masa Filipos II, Antigonos III berhasil mengalahkan Sparta dalam Pertempuran Selasia pada 222 SM.  Sparta lalu diduduki oleh negara asing untuk pertama kalinya dalam sejarah, dan Makedonia pun kembali menjadi negara terkuat di Yunani. Antigonos wafat setahun kemudian, kemungkinan akibat tuberkulosis, dan ia mewariskan sebuah kerajaan Helenistik yang kuat kepada penerusnya, Filipos V.

 

Kekuasaan Filipos V dari Makedonia (m. 221 SM – 179 SM) menghadapi ancaman dari Liga Aitolia dan suku Dardani dari Iliria  Filipos V dan sekutu-sekutunya berhasil mengalahkan pasukan Aitolia dan sekutunya dalam Perang Sosial (220–217 SM), tetapi ia memutuskan untuk berdamai dengan Aitolia setelah mendengar kabar mengenai serangan suku Dardani di utara dan kemenangan Kartago atas Romawi dalam Pertempuran Danau Trasimene pada 217 SM. Demetrios dari Faros diduga adalah orang yang telah meyakinkan Filipos V untuk mengamankan wilayah Iliria terlebih dahulu sebelum menyerang semenanjung Italia.  Pada 216 SM, Filipos V mengirim seratus kapal-kapal perang ringan ke Laut Adriatik untuk menyerang Iliria, sebuah tindakan yang membuat Skerdilaidas dari Kerajaan Ardiaea memohon bantuan kepada Romawi. Romawi menanggapinya dengan mengirim sepuluh kapal kuinkuireme berat dari Sisilia Romawi untuk menjaga wilayah pesisir Iliria, sehingga Filipos V memerintahkan agar armadanya menarik diri untuk menghindari konflik secara terbuka.

 

Konflik dengan Roma

 

Pada tahun 215 SM, di tengah berkecamuknya Perang Punisia Kedua, aparat Romawi mencegat sebuah kapal di kawasan lepas pantai Calabria. Kapal tersebut mengangkut seorang utusan Makedonia dan duta besar Kartago yang membawa sebuah perjanjian yang disusun oleh Hanibal Barka; perjanjian tersebut mengumandangkan persekutuan antara Kartago dengan Filipos V.  Perjanjian ini juga menyatakan bahwa Kartago berhak menentukan ketentuan-ketentuan menyerahnya Romawi apabila mereka berhasil memenangkan perang, dan Kartago juga menjanjikan bantuan apabila Romawi mencoba menuntut balas terhadap Makedonia atau Kartago.  Meskipun Makedonia mungkin hanya ingin mengamankan wilayah yang baru mereka taklukan di Iliria, Romawi berhasil menggagalkan ambisi Filipos V di kawasan Adriatik selama Perang Makedonia Pertama (214–205 SM). Pada 214 SM, Romawi menempatkan armadanya di Orikos, dan Makedonia kemudian menyerang armada tersebut sekaligus kota Apolonia di Iliria. Setelah Makedonia menaklukkan Lisos pada 212 SM, Senat Romawi membalasnya dengan menghasut Liga Aitolia, Sparta, Elis, Mesinia, dan Atalos I (m. 241 SM – 197 SM) dari Pergamon untuk mengobarkan perang melawan Filipos V, alhasil pasukan Makedonia disibukkan di Yunani dan dapat dijauhkan dari wilayah Italia.

 

Liga Aitolia menyetujui sebuah perjanjian perdamaian dengan Filipos V pada 206 SM, dan Republik Romawi juga menyepakati Perjanjian Foinike dengan Makedonia pada 205 SM, sehingga perang berakhir dan Makedonia diperbolehkan mempertahankan beberapa permukiman yang telah direbut di Iliria. Meskipun Romawi menolak permintaan Aitolia pada 202 SM agar Romawi kembali mengobarkan perang melawan Makedonia, Senat Romawi sangat mempertimbangkan tawaran serupa yang diajukan oleh Pergamon dan sekutunya, Rodos, pada 201 SM. Negara-negara ini merasa khawatir dengan persekutuan antara Filipos V dan Antiokos III Agung dari Kekaisaran Seleukia; Seleukia sendiri telah menyerang Dinasti Ptolemaik yang sudah dilelahkan oleh perang dan juga kehabisan dana selama Perang Siria Kelima (202–195 SM), sementara Filipos V merebut permukiman-permukiman Ptolemaik di kawasan Laut Aegea.  Walaupun para utusan Romawi berperan penting dalam meyakinkan Atena untuk bergabung dengan persekutuan anti-Makedonia bersama dengan Pergamon dan Rodos pada 200 SM, comitia centuriata (majelis rakyat) menolak usulan Senat Romawi untuk menyatakan perang terhadap Makedonia. Sementara itu, Filipos V menaklukkan wilayah-wilayah di Helespontos dan Bosporos serta Samos Ptolemaik, sehingga Rodos membentuk sebuah persekutuan dengan Pergamon, Bizantion, Kizikos, dan Kios. Meskipun Filipos V didukung oleh Seleukia, armada Makedonia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Kios pada 201 SM.

 

Saat Filipos V sedang disibukkan dengan perang melawan sekutu-sekutu Romawi di Yunani, Romawi mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk menghukum Makedonia karena mereka telah membantu Hanibal sekaligus untuk memperoleh kemenangan yang gemilang tanpa perlu mengeluarkan banyak sumber daya. Senat Romawi menuntut agar Filipos V berhenti bertikai dengan negara-negara Yunani dan menyelesaikan perselisihan dengan membawa perkara ke komite arbitrasi internasional. Setelah comitia centuriata menyetujui pernyataan perang terhadap Makedonia pada tahun 200 SM dan menyerahkan ultimatum kepada Filipos V yang menuntut agar kerugian yang dialami oleh Rodos dan Pergamon ditinjau oleh pengadilan, raja Makedonia menolak mentah-mentah ancaman tersebut. Perang Makedonia Kedua (200–197 SM) pun meletus, dan Publius Sulpisius Galba Maksimus kemudian memimpin operasi-operasi militer di Apolonia.

 

Pasukan Makedonia berhasil mempertahankan wilayah mereka sepanjang hampir dua tahun, namun konsul Romawi Titus Quinctius Flamininus berhasil mengusir Filipos V dari Makedonia pada 198 SM, sehingga pasukan Filipos V terpaksa mengungsi ke Tesalia. Ketika Liga Akaya membelot dan mulai mendukung Romawi, raja Makedonia meminta berdamai, tetapi ketentuan-ketentuan yang ditawarkan oleh lawan dianggap terlalu berat, dan sehingga perang berlanjut.  Pada Juni 197 SM, pasukan Makedonia dikalahkan dalam Pertempuran Kinoskefalon. Romawi kemudian meratifikasi sebuah perjanjian yang memaksa Makedonia untuk melepaskan sebagian besar wilayah-wilayahnya di Yunani yang berada di luar wilayah utama Makedonia, dan mungkin Romawi membiarkan Makedonia tetap berdiri hanya sebagai wilayah pembatas dari serangan suku-suku Iliria dan Trakia. Meskipun beberapa orang Yunani curiga bahwa Romawi ingin menggantikan Makedonia sebagai kekuatan yang dominan di Yunani, Flaminius mengumumkan saat Pesta Olahraga Istmia pada tahun 196 SM bahwa Roma berniat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Yunani dengan tidak menempatkan garnisun dan juga dengan tidak memungut upeti. Pemenuhan janjinya sempat tertunda oleh proses perundingan dengan raja Sparta Nabis yang telah menaklukkan Argos, tetapi pada akhirnya pasukan Romawi mundur dari Yunani pada tahun 194 SM.

 

Raja Seleukia Antiokos III merasa terdorong dengan seruan Liga Aitolia untuk membebaskan Yunani dari Romawi, sehingga ia dan pasukannya mendarat di Demetrias, Tesalia, pada 192 SM, dan dipilih menjadi strategos oleh Aitolia.  Makedonia, Liga Akaya, dan negara-negara kota Yunani lainnya masih tetap mempertahankan persekutuan mereka dengan Romawi.  Pasukan Romawi berhasil mengalahkan pasukan Seleukia pada 191 SM dalam Pertempuran Termopilai serta Pertempuran Magnesia pada 190 SM, alhasil Seleukia terpaksa menandatangani Traktat Apamea pada 188 SM yang mewajibkan mereka untuk membayarkan pampasan perang, membubarkan sebagian besar angkatan lautnya, dan mencabut klaimnya atas wilayah-wilayah di sebelah utara atau barat Pegunungan Tauros.  Dengan persetujuan dari Romawi, pada 191–189 SM, Filipos V merebut beberapa kota di Yunani tengah yang pernah bersekutu dengan Antiokos III, sementara Rodos dan Eumenes II (m. 197 SM – 159 SM) dari Pergamon memperoleh wilayah di Asia Kecil.

 

Setelah gagal memuaskan semua pihak yang terlibat dalam berbagai persengketaan wilayah, Senat Romawi memutuskan pada 184/183 SM untuk memaksa Filipos V meninggalkan Ainos dan Maronea, karena wilayah tersebut telah dinyatakan sebagai kota merdeka dalam Perjanjian Apamea.  Tindakan ini meredakan ketakutan Eumenes II akan ancaman Makedonia terhadap wilayah Eumenes II di Helespontos. Sementara itu, Filipos V mangkat pada tahun 179 SM dan digantikan oleh Perseus dari Makedonia (m. 179 SM – 168 SM). Perseus kemudian menghukum mati adiknya sendiri, Demetrios, yang disukai oleh Romawi namun didakwa melakukan pengkhianatan oleh Perseus.  Perseus lalu berupaya membentuk persekutuan dengan Prusias II dari Kerajaan Bitinia dan Seleukos IV Philopator dari Seleukia dengan mengusulkan pernikahan, dan ia juga memperbaharui hubungan dengan Rodos, tetapi tindakan ini membuat khawatir Eumenes II. Eumenes II mencoba merusak hubungan-hubungan ini, tetapi Perseus berhasil bersekutu dengan Liga Boiotia, memperluas kekuasaannya di Iliria dan Trakia, dan pada 174 SM juga dipilih sebagai anggota Dewan Amfiktonia yang mengurus Kuil Apolo.

 

 

Eumenes II tiba di Roma pada 172 SM dan menyampaikan sebuah pidato di hadapan Senat yang mengecam kejahatan dan pelanggaran yang konon telah dilakukan oleh Perseus. Akibatnya, Senat Romawi mengumandangkan Perang Makedonia Ketiga (171–168 SM). Meskipun pasukan Perseus berhasil memperoleh kemenangan melawan pasukan Romawi dalam Pertempuran Kalinikos pada 171 SM, Makedonia mengalami kekalahan dalam Pertempuran Pidna pada Juni 168 SM.  Perseus melarikan diri ke Samotrakia, tetapi ia menyerahkan diri tak lama setelahnya; ia lalu dibawa ke Roma untuk mengikuti pawai kemenangan Lusius Emilius Paulus Makedonikus, dan kemudian dijadikan tahanan rumah di Alba Fucens hingga ia tutup usia pada 166 SM. Romawi membubarkan monarki Makedonia dan menggantikannya dengan empat republik yang terpisah, masing-masing beribu kota di Amfipolis, Tesalonika, Pela, dan Pelagonia.  Romawi memberlakukan hukum-hukum yang menghalangi interaksi ekonomi dan sosial di antara penduduk-penduduk republik-republik tersebut, termasuk larangan pernikahan di antara mereka dan larangan (sementara) terhadap penambangan emas dan perak. Kemudian, seseorang yang bernama Andriskos mengklaim dirinya sebagai keturunan Antigonidai, memberontak melawan Romawi, dan diangkat menjadi raja Makedonia. Ia berhasil mengalahkan pasukan praetor Romawi yang dipimpin oleh Publius Yuvensius Talna, tetapi ia dikalahkan oleh Kuintus Sesilius Metelus Makedonus dalam Pertempuran Pidna Kedua pada 148 SM. Kemudian Romawi juga berhasil menghancurkan kota Kartago pada tahun 146 SM dan mengalahkan Liga Akaya dalam Pertempuran Korintos pada tahun yang sama, sehingga dimulailah era kekuasaan Romawi di Yunani dan didirikanlah provinsi Makedonia Romawi secara bertahap.

 

Pembagian kekuasaan.

 

Kepala pemerintahan Makedonia adalah raja (basileus). Paling tidak dari masa pemerintahan Filipos II, raja dibantu oleh hamba kerajaan (basilikoi paides), pengawal (somatofilakes), sahabat (hetairoi), teman (filoi), sebuah majelis yang meliputi para anggota militer, dan (pada masa Helenistik) magistrat.  Kurang terdapat bukti yang dapat memastikan apakah terdapat pembagian wewenang di antara raja dengan kelompok-kelompok tersebut, dan apakah keberadaan kelompok-kelompok tersebut dilandaskan pada sebuah kerangka konstitusi resmi. Sebelum masa pemerintahan Filipos II, satu-satunya lembaga yang dapat dibuktikan keberadaannya lewat bukti-bukti tekstual adalah lembaga monarki.

 

Jabatan raja dan pemerintahan kerajaan

Jenis pemerintahan paling awal yang diketahui keberadaannya di Makedonia adalah sistem monarki yang berdiri hingga sistem tersebut dibubarkan oleh Romawi pada tahun 167 SM. Monarki di Makedonia sudah ada paling tidak dari zaman Yunani Arkais, dan kelompok ningratnya mungkin sudah mengakar dari zaman Yunani Mikenai.  Tukidides menulis bahwa pada zaman sebelumnya, Makedonia terbagi menjadi suku-suku kecil, dan masing-masing memiliki rajanya sendiri, tetapi kemudian suku-suku Makedonia Hilir disatukan oleh satu raja besar yang juga berkuasa di atas raja-raja kecil di Makedonia Hulu.  Garis keturunan bapak-anak di Kerajaan Makedonia terputus setelah pembunuhan Orestes dari Makedonia pada 396 SM (diduga dilakukan oleh walinya yang lalu menjadi penggantinya, Aeropos II dari Makedonia), alhasil muncul perdebatan di kalangan sejarawan modern mengenai apakah pewarisan kepada anak sulung laki-laki merupakan adat yang sudah ada dari sebelumnya, atau apakah memang terdapat hak konstitusional bagi majelis tentara atau rakyat untuk memilih raja yang lain.  Tidak diketahui secara pasti apakah anak laki-laki ratu akan selalu diutamakan daripada yang lainnya mengingat Arkelaos I dari Makedonia (anak Perdikas II dan seorang budak wanita) dapat naik takhta, walaupun Arkelaos sendiri berkuasa setelah membunuh pewaris takhta yang ditunjuk oleh ayahnya.

 

Raja-raja Makedonia sebelum Filipos II bertanggung jawab menyambut para diplomat asing, menentukan kebijakan luar negeri kerajaan, dan merundingkan persekutuan dengan negara-negara asing. Setelah Yunani menang di Salamis pada tahun 480 SM, komandan Persia Mardonios mengirim Aleksander I dari Makedonia ke Atena sebagai utusan utama dengan maksud untuk membahas kemungkinan pembentukan persekutuan antara Akemeniyah dengan Atena. Keputusan untuk mengirim Aleksander didasarkan pada pernikahannya dengan keluarga bangsawan Persia dan hubungan resminya dengan negara-kota Atena. Sementara itu, raja-raja Makedonia juga mengendalikan sumber daya alam di negaranya, termasuk emas, perak, kayu, dan tanah kerajaan, sehingga mereka dapat menyogok orang-orang di dalam dan luar negeri dengan hadiah-hadiah yang luar biasa.

 

Tidak banyak yang diketahui mengenai sistem kehakiman di Makedonia Kuno selain fakta bahwa raja bertindak sebagai kepala hakim di kerajaan. Raja-raja Makedonia juga menjadi panglima tertinggi militer. Sementara itu, Filipos II menjadi sosok yang sangat terpandang karena ia menjalankan tugasnya sebagai imam agung negara dengan penuh kesalehan. Ia melakukan ritual pengorbanan setiap harinya dan juga memimpin perayaan keagamaan. Aleksander meniru berbagi aspek pemerintahan ayahnya, seperti pemberian tanah dan hadiah kepada para pengikut dari golongan ningrat yang setia, namun ia kehilangan dukungan dari mereka setelah ia mulai menerapkan kebiasaan-kebiasaan Persia, seperti hubungan "tuan dan hamba" (seperti yang diamati oleh Carol J. King) ketimbang hubungan "rekan seperjuangan" yang telah menjadi hubungan tradisional raja-raja Makedonia dengan sahabat-sahabat mereka. Walaupun begitu, ayah Aleksander, Filipos II, diduga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Persia saat ia mendirikan lembaga-lembaga yang mirip dengan yang dapat ditemukan di Akemeniyah, seperti sekretaris kerajaan, arsip kerajaan, dan hamba muda.

 

Hamba-hamba muda adalah remaja laki-laki dan pria muda yang diambil dari rumah tangga ningrat dan mungkin sudah melayani raja-raja Makedonia dari masa pemerintahan Filipos II, meskipun bukti yang lebih kuat mengenai keberadaan mereka di istana kerajaan berasal dari masa pemerintahan Aleksander Agung. Hamba-hamba muda kerajaan tidak terlibat langsung dalam politik tingkat tinggi dan mereka dibawa ke istana dengan maksud untuk memperkenalkan kehidupan politik kepada mereka. Setelah masa pelatihan dan pelayanan, para hamba muda diangkat menjadi pengiring raja.  Pada masa pelatihan, mereka ditugaskan menjaga raja saat ia tidur, menyediakan kuda untuknya, membantunya menaiki kuda, menemaninya saat berburu, dan melayaninya selama simposia (pesta minum-minum resmi).  Walaupun hamba-hamba muda yang dibawa ke istana dapat meniti karier seumur hidup di istana atau bahkan memperoleh jabatan gubernur, mereka juga dapat dianggap sebagai sandera yang ditawan oleh istana untuk memastikan agar ayah mereka tetap setia dan patuh kepada raja. Penghukuman para hamba muda dengan cara yang kasar (seperti pencambukan) telah memicu intrik dan persekongkolan melawan raja, dan begitu pula hubungan homoseksual antara para hamba muda dengan elit (atau bahkan dengan raja).  Pada masa Antigonidai, tidak terdapat banyak bukti mengenai keberadaan hamba muda di istana, tetapi terdapat sekelompok hamba muda yang melarikan diri bersama dengan Perseus dari Makedonia ke Samothraki setelah ia dikalahkan oleh Romawi pada tahun 168 SM.

 

Pengawal

 

Pengawal merupakan orang-orang terdekat raja di istana maupun di medan tempur. Mereka terbagi menjadi dua kategori: agema dari hipaspistai, yaitu sejenis pasukan khusus pada zaman kuno yang biasanya berjumlah ratusan, dan kelompok pasukan yang lebih kecil dan dipilih langsung oleh raja, baik itu karena bakat mereka maupun untuk menghormati keluarga mereka. Maka dari itu, para pengawal (yang terbatas jumlahnya) tidak selalu bertanggung jawab melindungi nyawa raja di medan tempur maupun dalam keadaan damai; gelar dan jabatan mereka lebih menjadi tanda kekhasan, yang mungkin dimaksudkan untuk menghentikan persaingan di antara keluarga-keluarga ningrat.

 

Sahabat, teman, dewan, dan majelis

 

Para sahabat (termasuk kavaleri elit dan infanteri pezhetairoi) mewakili sebuah kelompok yang lebih besar jumlahnya ketimbang para pengawal raja. Para sahabat dengan pangkat paling tinggi dan yang paling dipercayai oleh raja membentuk sebuah dewan yang berperan sebagai badan penasihat untuk raja. Namun, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan keberadaan sebuah majelis tentara pada masa-masa perang dan majelis rakyat pada masa-masa damai.

 

Para anggota dewan memiliki hak untuk berbicara; meskipun tak ada bukti langsung yang menunjukkan bahwa mereka dapat memberikan suara terkait dengan urusan negara, paling tidak raja kadang-kadang terpaksa memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Majelis tampaknya diberi hak untuk menghakimi perkara pengkhianatan terhadap negara dan menjatuhkan hukuman kepada mereka, seperti saat Aleksander Agung bertindak sebagai jaksa penuntut dalam sidang tiga orang yang didakwa bersekongkol membunuh ayahnya (sementara banyak orang lainnya yang dibebaskan dari segala tuduhan). Namun, tidak terdapat cukup bukti yang menunjukkan bahwa lembaga dewan dan majelis terus dipertahankan atau dilandaskan pada konstitusi, dan keputusan mereka mungkin juga tidak selalu diterima oleh raja. Sepeninggalan Aleksander Agung, para sahabatnya langsung membentuk sebuah dewan untuk mengambil alih pemerintahan, tetapi kemudian terkendala oleh konflik bersenjata di antara para anggotanya. Sementara itu, militer sendiri sering kali memberontak untuk mencapai tujuan politik mereka.

 

Magistrat, persemakmuran, pemerintahan setempat, dan negara sekutu

 

Raja-raja Makedonia dari Dinasti Antigonidai dibantu oleh para pejabat regional dalam mengatur urusan negara, termasuk pejabat-pejabat kota berpangkat tinggi, seperti strategos militer dan politarkh atau gubernur yang dipilih (arkhon) dari sebuah kota besar (polis), serta pejabat politik-keagamaan yang disebut epistates. Tak ada bukti yang menjelaskan latar belakang pribadi para pejabat tersebut, meskipun mereka mungkin juga berasal dari golongan ningrat filoi dan hetairoi.

 

Di Atena Kuno, sistem demokrasi pernah didirikan kembali sebanyak tiga kali setelah kota tersebut ditaklukkan oleh Antipatros pada 322 SM. Saat berada di bawah kekuasaan Makedonia, Atena diperintah oleh sebuah oligarki yang diangkat oleh Makedonia dan terdiri dari orang-orang terkaya di kota tersebut.  Negara kota lainnya diperlakukan secara berbeda dan dianugerahi otonomi yang lebih besar.  Setelah Filipos II menaklukkan Amfipolis pada 357 SM, kota tersebut diperbolehkan mempertahankan sistem demokrasi, termasuk konstitusi, majelis rakyat, dewan kota (boule), dan pemilihan tahunan pejabat baru, tetapi garnisun Makedonia ditempatkan di dalam tembok kota bersama dengan seorang komisioner kerajaan Makedonia (epistates) untuk memantau urusan politik di kota tersebut. Filipi, sebuah kota yang didirikan oleh Filipos II, merupakan satu-satunya kota lainnya di persemakmuran Makedonia yang memiliki sistem pemerintahan demokratis dengan keberadaan majelis rakyat, sementara majelis (eklesia) di Tesaloniki tampaknya hanya memiliki peranan yang bersifat pasif.  Beberapa kota juga diperbolehkan menyimpan pendapatannya sendiri. Raja Makedonia dan pemerintah pusat sendiri mengelola pendapatan yang dikumpulkan oleh kuil-kuil dan para imam.

 

Terdapat beberapa bukti dari abad ke-3 SM yang menunjukkan bahwa di dalam persemakmuran Makedonia, hubungan luar negeri diurus oleh pemerintah pusat. Meskipun kota-kota Makedonia turut serta dalam ajang-ajang Panhelenik sebagai entitas-entitas independen, pada kenyataannya pemberian asilia (kekebalan diplomatik dan hak suaka di tempat suci) kepada kota-kota tertentu diurus secara langsung oleh raja. Sementara itu, negara kota yang tergabung ke dalam koina (dalam kata lain federasi kota negara, simpoliteia) Yunani yang sezaman dengan Makedonia mematuhi dekret-dekret federal yang disetujui secara kolektif oleh anggota-anggota liga.  Di negara kota yang tergabung ke dalam liga atau persemakmuran, hak untuk memberikan proxenia (dalam kata lain, penerimaan duta besar asing) biasanya merupakan hak yang dimiliki oleh pemerintah setempat sekaligus pusat. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penganugerahan proxenia adalah prerogatif eksklusif pemerintah pusat di Liga Epiros, dan beberapa bukti juga mengindikasikan bahwa hal serupa berlaku untuk persemakmuran Makedonia,  sementara negara kota yang bersekutu dengan Makedonia mengeluarkan dekret-dekret mereka sendiri yang terkait dengan proxenia.

 

Liga-liga asing juga pernah membentuk persekutuan dengan raja-raja Makedonia, seperti saat Liga Kreta menandatangani perjanjian dengan Demetrios II Aitolikos dan Antigonos III Doson yang memastikan perekrutan tentara bayaran Kreta ke dalam militer Makedonia, dan memilih Filipos V dari Makedonia sebagai pelindung kehormatan (prostates) liga tersebut.

 

Militer

 

Pasukan Makedonia awal

Struktur dasar pasukan Makedonia Kuno adalah pembagian antara kavaleri (hetairoi) dan infanteri (pezhetairoi), yang dilengkapi dengan pasukan-pasukan sekutu, prajurit asing, dan tentara bayaran. Infanteri mungkin sudah ada sejak masa pemerintahan Aleksander I dari Makedon.  Kavaleri Makedonia (yang mengenakan kuiras otot) mulai naik daun di Yunani pada masa Perang Peloponesos.  Infanteri Makedonia pada masa ini terdiri dari para gembala dan petani yang kurang terlatih, sementara anggota-anggota kavaleri berasal dari golongan bangsawan.  Seperti yang dapat dilihat dalam karya seni dari awal abad ke-4 SM, terdapat pengaruh Sparta yang menonjol pada pasukan Makedonia sebelum masa Filipos II.  Nicholas Viktor Sekunda menyatakan bahwa pada permulaan masa kekuasaan Filipos II pada 359 SM, pasukan Makedonia terdiri dari 10.000 infanteri dan 600 kavaleri, sementara Malcolm Errington memperingatkan bahwa angka yang dikutip oleh para penulis dari zaman kuno sebaiknya tidak asal diterima begitu saja.

 

Filipos II dan Aleksander Agung

Informasi lebih lanjut: Kavaleri Tesalia

Setelah menjadi sandera politik selama bertahun-tahun di Tivai, Filipos II ingin meniru contoh latihan militer dan pemberian perlengkapan standar untuk pasukan, dan ia kemudian berhasil mengubah militer Makedonia dari pasukan yang terdiri dari para petani yang tidak profesional, menjadi pasukan yang sepenuhnya profesional dan terlatih dengan baik. Filipos II menerapkan beberapa taktik militer musuhnya, seperti formasi kavaleri embolon dari bangsa Skitia. Infanterinya memegang perisai peltai yang menggantikan perisai bergaya hoplon dari masa sebelumnya, dan mereka juga dilengkapi dengan ketopong pelindung, pelindung kaki, dan perisai dada kuiras atau perisai perut kotibos; selain itu, mereka dipersenjatai dengan tembiang sarissa ditambah dengan belati sebagai senjata kedua. Infanteri elit hipaspistai, yang terdiri dari pasukan berpangkat pezhetairoi, dibentuk pada masa kekuasaan Filipos II dan tampaknya masih dikerahkan pada masa kekuasaan Aleksander Agung. Filipos II kemungkinan juga merupakan orang yang mendirikan satuan pengawal kerajaan (somatofilakes).

 

Untuk pasukan penembak ringan, Filipos II mempekerjakan pemanah-pemanah Kreta serta para pemanah, pelempar lembing, dan pelempar umban dari Trakia, Paionia, dan Iliria. Ia juga menggunakan jasa para teknisi seperti Polidos dari Tesalia dan Diades dari Pela, yang mampu membangun mesin kepung yang paling terkini pada masa itu dan juga artileri yang menembakkan busur besar. Setelah Makedonia menguasai tambang-tambang di Krinides (lalu diganti namanya menjadi Filipi), kerajaan tersebut mampu menanggung biaya militer profesional permanen.  Meningkatnya pendapatan negara di bawah kekuasaan Filipos II juga memungkinkan pembentukan angkatan laut kecil untuk pertama kalinya, yang meliputi kapal-kapal trireme.

 

Satu-satunya satuan kavaleri Makedonia yang tercatat keberadaannya pada masa kekuasaan Aleksander Agung adalah kavaleri hetairoi,  tetapi ia juga membentuk sebuah hiparkia (satuan yang terdiri dari ratusan pasukan berkuda) yang secara keseluruhan terdiri dari orang Persia pada saat ia sedang berperang di Asia.  Ketika pasukannya sedang bergerak menuju Asia, Aleksander juga membawa 1.800 pasukan kavaleri dari Makedonia, 1.800 pasukan kavaleri dari Tesalia, 600 pasukan kavaleri dari wilayah Yunani lainnya, dan 900 kavaleri prodromoi dari Trakia. Sementara itu, Antipatros dapat dengan cepat menghimpun 600 pasukan kavaleri Makedonia asli untuk bertarung dalam Perang Lamia saat perang tersebut dimulai pada 323 SM. Sebagian besar anggota elit hipaspistai pimpinan Aleksander disebut agema, dan sebuah istilah baru untuk hipaspistai muncul setelah Pertempuran Gaugamela pada 331 SM, yaitu argiraspides (perisai perak).  Argiraspides masih bertugas setelah masa pemerintahan Aleksander Agung dan mungkin berasal dari Asia. Secara keseluruhan, infanteri falangs bersenjatakan tembiang pada masa Aleksander berjumlah sekitar 12.000 orang, 3.000 di antaranya adalah hipaspistai elit dan 9.000 di antaranya adalah pezhetairoi. Aleksander masih menggunakan jasa para pemanah Kreta dan juga mulai merekrut pemanah asli Makedonia. Seusai Pertempuran Gaugamela, pemanah yang memiliki latar belakang Asia Barat sering ditemui di dalam pasukan Aleksander.

 

Militer zaman Antigonidai

 

Pasukan Makedonia masih terus mengalami perubahan pada masa Dinasti Antigonidai. Tidak diketahui secara pasti berapa banyak orang yang diangkat menjadi somatofilakes, yang berjumlah delapan orang pada akhir pada pemerintahan Aleksander Agung, sementara hipaspistai tampaknya telah berubah menjadi asisten somatofilakes. Dalam Pertempuran Kinoskefalon pada 197 SM, militer Makedonia memiliki sekitar 16.000 pasukan falangs. Regu kavaleri hetairoi pada masa Aleksander terdiri dari 800 orang, dan jumlahnya juga sama untuk pasukan kavaleri di dalam skuadron suci (Latin: sacra ala; Yunani: hiera ile) yang dikomandani oleh Filipos V dari Makedonia selama Perang Sosial pada 219 SM.  Kavaleri Makedonia biasa berjumlah 3.000 di Kalinikos, yang terpisah dari skuadron suci dan kavaleri kerajaan.

 

Berkat inskripsi-inskripsi dari Amfipolis tahun 218 SM dan dari Greia tahun 181 SM, para sejarawan dapat mengumpulkan dan merangkai informasi mengenai susunan militer Antigonidai pada masa kekuasaan Filipos V. Setidaknya dari zaman Antigonos III Doson, sebagian besar anggota infanteri elit merupakan prajurit peltastes, yaitu pasukan yang lebih ringan dan lebih bermanuver dengan senjata berupa lembing peltai, pedang, dan perisai perunggu yang lebih kecil ketimbang perisai milik falangs Makedonia (meskipun mereka kadang-kadang mereka juga memiliki peranan seperti falangs). Di antara para peltastes, terdapat sekitar 2.000 orang yang terpilih untuk bertugas di dalam pasukan elit agema, sementara anggota peltast lainnya berjumlah sekitar 3.000 orang.  Jumlah peltastes berubah-ubah seiring berjalannya waktu, dan mungkin tak pernah lebih dari 5.000 orang.  Mereka bertarung bersama dengan pasukan falangs, dan pasukan falangs sendiri pada masa itu sudah terbagi menjadi khalkaspides (perisai perunggu) dan leukaspides (perisai putih).

 

Raja-raja Antigonidai terus memperbesar dan memperkuat angkatan laut mereka.  Kasandros mempertahankan sebuah armada kecil di Pidna, Demetrios I dari Makedonia memiliki satu armada di Pela, dan Antigonos II Gonatas (saat mengabdi sebagai seorang jenderal untuk Demetrios di Yunani) menggunakan angkatan laut untuk mengamankan wilayah Makedonia di Demetrias, Kalkis, Pireas, dan Korintos. Angkatan laut semakin diperbesar pada masa Perang Kremonides (267–261 SM), sehingga angkatan laut Makedonia dapat mengalahkan angkatan laut Mesir Ptolemaik dalam Pertempuran Kos tahun 255 SM dan Pertempuran Andros tahun 245 SM, dan juga memperluas pengaruh Makedonia hingga ke Kiklades. Antigonos III Doson menggunakan angkatan laut Makedonia untuk menyerang Karia, sementara Filipos V mengirim 200 kapal untuk bertarung dalam Pertempuran Kios pada 201 SM. Angkatan laut Makedonia dikurangi menjadi enam kapal saja sesuai dengan isi perjanjian perdamaian tahun 197 SM yang mengakhiri Perang Makedonia Kedua dengan Republik Romawi, meskipun Perseus dari Makedonia dengan cepat menghimpun beberapa kapal lemboi saat pecahnya Perang Makedonia Ketiga pada 171 SM.

No comments: